Tinjauan
Umum Aspergillus Flavus
Klasifikasi:
Super kingdom : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum
Ascomycota
Sub phylum : Pezizomycotina
Classis : Eurotiomycetes
Sub classis : Eurotiomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
Gambar 2.3 Apergillus Flavus (Sulfiah, 2012)
Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang jamur
yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas
kapang Imperfecti,
ordo Moniliales,
famili Moniliaceae dan
genus
Aspergillus.
Sistem klasifikasi yang
lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes
berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis,
dan karakter biokimia mencakup
analisis sekunder DNA. Kapang
dari
genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung
pada
spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan. Aspergillus memerlukan temperatur yang
lebih
tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada AW (Water Activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang
lebih
cepat bila dibandingkan dengan Penicillium. Genus ini,
sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus
lebih
tahan
terhadap
bahan-bahan kimia. Hampir semua
anggota dari genus
Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik.
Spesies Aspergillus
dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan
asam organik, ekspresi protein
asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Sabouraud
Dextorsa Agar. Aspergillus
flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting
sebagai pendaur ulang
nutrisi yang terdapat dalam sisa- sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian
yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang
segala jenis substrat
organik dimana saja dan
kapan
saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi.
Kondisi ideal tersebut mencakup
kelembaban udara yang
tinggi dan suhu yang tinggi. Sifat morfologis Aspergillus flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak
berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks
dan
berwarna atau
tidak berwarna,
konidia berbentuk rantai berwarna hijau,
coklat atau
hitam.
Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa tampilan
mikroskopis Aspergillus flavus memiliki
konidiofor yang panjang (400-800 μm)
dan relatif kasar, bentuk
kepala
konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak. Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh
dengan cepat dan
mencapai diameter
6-7
cm
dalam 10-14 hari (Ruiqian et al. 2004).
Kapang
ini
memiliki warna permulaan kuning yang
akan berubah menjadi kuning kehijauan atau
coklat dengan warna inversi coklat keemasan
atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau
tua.
Keberagaman bentuk
ekologi yang dicakup
oleh
Aspergillus sub-genus Aspergillus
bagian Flavi (grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk memproduksi aflatoksin
menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai
grup yang paling banyak dipelajari hingga saat ini. Aspergillus
flavus tersebar luas di dunia.
Hal
ini disebabkan oleh produksi
konidia yang dapat tersebar
melalui udara (airborne) dengan mudah
maupun melalui
serangga. Komposisi atmosfir juga memiliki pengaruh yang
besar terhadap
pertumbuhan kapang
dengan kelembaban sebagai variabel yang paling
penting. Tingkat penyebaran Aspergillus flavus yang
tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan
organisme lain
dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman. Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian
grup Aspergillus
yang sudah
sangat
dikenal karena
peranannya
sebagai patogen
pada
tanaman dan kemampuannya untuk
menghasilkan aflatoksin pada
tanaman yang
terinfeksi. Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang mengkontaminasi produk agrikultur.
Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus
mampu mengakumulasi aflatoksin pada
berbagai produk
pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda.
Vujanovic et
al. (2001)
berpendapat
bahwa
Aspergillus flavus dapat tumbuh
optimal pada aw 0,86 dan 0,96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di
bawah 16%. Aw minimum yang dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah
0,80. Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia,
mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang
diasosiasikan dengan
angioinvasion. Sindrom klinis yang
diasosiasikan dengan kapang
tersebut meliputi
granulomatous
sinusitis kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan
inokulasi. Sementara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir
semua spesies Aspergillus yang lainya. Selain itu, kapang
tersebut juga mengkontaminasi berbagai produk pertanian di
lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus.
Penyebaran Aspergillus
flavus yang merata sangat dipengaruhi oleh iklim dan
faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus
flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti
kadar
air, oksigen,
unsur makro (karbon, nitrogen,
fosfor, kalium dan magnesium)
dan
unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya,
temperatur,
kelembaban dan keberadaan
kapang lain.
Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30°C
dengan Rh
(kelembaban udara relatif) ≥ 95%. Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek
penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh
dengan kadar O2 minimum 1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.