TUGAS HEMATOLOGI III
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT ( M2 )
OLEH
LAODE YAZID BASHAR
AK.12.041
AKADEMI ANALIS KESEHATAN BINAHUSADA
KENDARI
2014
A. DEFENISI
LUEKEMIA
Leukimia adalah suatu keganasan pada
alat pembuat sel darah berupa poliferasi sel hemopoetik muda yang di tandai
oleh adanya kegagalan sumsum tulang dalam pembentuk sel darah normal dan adanya
infiltrasi ke jaringan tubuh lain. ( Kapita Selekta kedokteran, 2000 )

B.
KLASIFIKASI
LEUKEMIA
Leukemia
Mielogenus Akut (LMA)
LMA mengenai sel sistem hematopoetik yang kelak
berdiferensiasi ke semua sel mieloid; monosit, granulosit (basofil, netrofil,
eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena.
Insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi.
Leukemia
Mielogenus Krinis (LMK)
LMK juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem
mieloid. Namu lebih banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit
ini lebih ringan. LMK jarang menyerang individu dibawah 20 tahun. Manifestasi
mirip dengan gambaran LMA tetapi dengan tanda dan gejala yang lebih ringan.
Pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun, peningkatan leukosit
kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.
3. Leukemia
Limfositik Kronis (LLK)
LLK merupakan kelainan ringan mengenai individu usia
50 – 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala. Penyakit
baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit.
4. Leukemia
Limfositik Akut (LLA)
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast.
Sering terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15 tahun. LLA jarang terjadi.
Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer
sehingga mengganggu perkembangan sel normal.
C.
LEUKEMIA
MIELOBLASTIK AKUT
1. DEFENISI
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu
penyakit yang ditandai dengantransformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi
sel-sel progenitor dari sel myeloid. Bila tidak diobati,penyakit ini akan
mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggusampai bulan
sesudah diagnosis. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan
32%dariseluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa
(85%) dari padaanak(15%).
Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa
anak-anak hingga masa dewasamuda.Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat
secara eksponensial sejalan denganmeningkatnya usia. LMA pada orang yang
berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orangyangberusia 50 tahun 2,7%, sedang pada
orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%.Secara tidak umum
tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi
LMA,meskipunpernah dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8
kali besar pada ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan
dengan ras Kaukasia.
2. PATOGENESIS
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade
maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti
pada sel-sel muda ( blast ) dengan akibat terjadi akumulasi blast disumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan
gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom
kegagalan sumsum tulang ( bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan
adanya sitopenia (anemia,leukopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan
menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas,
adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya
leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi
oportunistis dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.
Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk
migrasi keluar sumsumtulang dan berinfiltrasi ke organ - organ lain seperti
kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf
pusat dan merusak organ - organ tersebut dengan segala akibatnya.
3. TANDA
DAN GEJALA
Tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis
terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit
yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian,
sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akanditemukan pada 85%
kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenissel-sel
leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan
diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA. Tanda dan gejala utama LMA
adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkanoleh sindrom
kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi
adalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah
atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat
jarang terjadi kecualipada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling
sering dijumpai ditenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga
organ-organ tersebut harusdiperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan
demam.Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3),
sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat
aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya
gumpalan leukosit yang menyumbat alira pembuluh darah vena maupun arteri.
Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya.
Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan
kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat
tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan
hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi
secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula
in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia
yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi
tidak in vivo pada tubuh pasien. Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang diinfiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa
rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (lkoroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun
jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan
diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal
yangdiambil melalui prosedur pungsi lumbal.
4. DIAGNOSIS
LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan
dengan kegagalan sumsum tulang. LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap
penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau perdarahan. Hepatosplenomegali
sering, limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau pembengkakan
kelenjar parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal
darisel leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah
retro orbital danepidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi
sel leukemia sumsum tulang. Hitung 10 darah biasanya abnormal. Anemia dan
trombositopenia sering mencolok. Hitung leukositmungkin tinggi, rendah, atau
normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah.LMA mungkin timbul
pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia, leokopenia
atautrombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering terjadi pada dewasa,
khas disebut sindrom mielodisplasia.
Sindrom mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan
dengan LMA, tetapisumsum tulang mengandung persentase sel blas yang lebih
rendah dan mempunyai gambarandisplasia yang khas, termasuk megaloblastosis.
Penderita mungkin tidak tampak sakit padawaktu diperiksa dan hanya anemia dan
leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan diri ke dokter. Gambaran
khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan sumsum tulang.Perjalanan
alamiah sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas, tetapi dapat
timbul padaanak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya.Secara klasik
diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan
pewarnaan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2
teknik pemeriksaan terbaru: immunoserotyping
dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan
sitokimia, klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampaiM7).Klasifikasi ini
dikenal dengan nama klasifikasi FAB ( French American British ). KlasifikasiFAB
saat ini masih menjadi dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk
pasien LMAadalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua
pengecatan sitokimia tersebutakan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe
M1, M2, M3, M4 dan M6
5. KLASIFIKASI
MENURUT FAB
LMA-M0
: Leukemia mielositik akut : Diferensiasi minimal
LMA-M1
: leukemia mieloblasti akut : tanpa maturasi
LMA-M2
: Leukemia mieloblastik akut : dengan maturasi
LMA-M3
: leukemia promielositik akut
LMA-M4
: leukemia mielomonositik akut
LMA-M5
: leukemia monositik akut
LMA-M6
: Eritroleukemia
LMA-M7
: Leukemia megakariositik akut
D.
LEUKEMIA
MIELONLASTIK AKUT M2
a. Gambar
:

Leukemia tipe M2 ini ditandai dengan
banyaknya granulosit yang matang. Leukemia jenis ini diderita oleh sekitar 40%
dari seluruh penderita LMA. M2: Akut Mieloblastik Leukemia dengan diferensiasi
awal terdiri atas promielosit (sel-sel dengan sedikit granula inti masih bulat
atau sedikit melekuk, plasma biru) dan mioblas, Auer rod sering ada.
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan
kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari
promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 % .
Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel
sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .
Sel-sel yang terlibat dalam LMA adalah
mieloblas, sel paling dini dalam perkembangan granulopoietik. Pasien biasanya
datang dengan gambaran kegagalan sumsum tulang. Jarang ditemukan penyakit
ekstrameduler dan organomegali juga tidak lazim.
Leukositosis disebabkan oleh mieloblas
dalam darah perifer dan >40% sel blas bentuknya besar dengan beberapa
nucleoli, granula dan batang Auer dalam sitoplasma. Pulasan Sudan Black,
peroksidase dan klorasetat esterase hasilnya positif. M1 tidak memperlihatkan
diferensiasi morfologi (20% dari semua LMA), tetapi diidentifikasi dengan
adanya batang Auer kadang-kadang, pulasan mieloperoksidase atau sudan black
yang positif, atau yang belakangan ini dengan antibody monoclonal, sedangkan M2
memperlihatkan beberapa gambaran diferensiasi granulositik (37% dari semua
LMA).
E.
TERAPI
Terapi LMA direncanakan untuk tujuan
kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif
adalah mereka yang berusia <60 tahun, tanpa komorbiditas yang beratserta
mempunyai profil sitogenik yang favorable.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal,
sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan dimulai.
Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
infeksi, gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandungi
preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya
koagulopati yang sering ditemukan padapenderita LMA. Selain itu, penderita yang
mempunyai angka leukosit pra-terapi yangsangattinggi (>100 ribu/mm3),
mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari
leukostaisi dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat penting untuk
mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai
timleukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang
memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang
steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan.
Tanpa prasarana tersebut angka kematian
saat pengobatan akan sangat tinggi.Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratid
harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis
normal di dalam sumsum tulang.
Survival jangka panjang hanyadidapatkan
pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu
diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini
tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa
punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan
fungsi sumsum tulang.
Eradikasi sel-sel leukemik yang
maksimal, memerlukan strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi
untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi.
Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan untuk
mengeradikasikan sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi
komplit.Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran
darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk
tercapainya jumlah sel-sel blast <5%.
Perlu ditekankan disini, meskipun
terjadi remisi komplit tidak berarti sel-sel klonalleukemik telah tereradikasi
seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya
lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan
sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila
dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan
datang.
Oleh karena itu,meskipun pasien telah
mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program pengobatan
selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya
terdiridari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan
dosis yang sama ataulebih besar dari dosisyang digunakan pada fase induksi.
Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini sebenarnya dapatmenyebabkan eradikasi
sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalamsumsum tulang, sehingga
pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca terapi induksi.Pada saat
tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang
beratkedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi
suportif berupa penggunaanantibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya
sel darah merah dan trombosit) sangat penting untukmenunjang keberhasilan
terapi LMA. Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaituterapi untuk LMA pada umumnya
dan terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA
DAFTAR
PUSTAKA
Smeltzer
Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester,
dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
Doenges,
Marilynn E. Nursing Care Plans: Guidelines For Planning And Documenting Patient Care. Alih Bahasa I Made Kariasa.
Ed.Jakarta : EGC; 19994.
Price,
Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih
Bahasa Peter Anugrah. Ed.Jakarta : EGC;
19945.
Reeves,
Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001
Susan
Martin Tucker, Mary M. Canabbio, Eleanor Yang Paquette, Majorie Fife Wells,1998, Standar Perawatan Pasien,
volume 4, EGC
Abdoerrachman
MH, dkk, 1998, Ilmu Kesehatan Anak, Buku I, penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Anna
Budi Keliat, SKp, MSc., 1994, Proses Keperawatan, EGC.
Marilynn
E. Doenges, Mary Prances Moorhouse, Alice C. Beissler, 1993, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC.
Rosa
M Sacharin, 1996, Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, Jakarta
Soeparman,
Sarwono Waspadji, 1998, Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.