Yazhid Blog

.

Senin, 20 Maret 2017

ASPEK MEDIKOLEGAL PHLEBOTOMI


ASPEK MEDIKOLEGAL  PHLEBOTOMI

Pendahuluan
          Tujuan phlebotomi adalah memperoleh sampel darah dalam volume yang cukup untuk pemeriksaan yang dibutuhkan, dengan memperhatikan pencegahan interferensi preanalisis, memasukkannya ke dalam tabung yang benar, memperhatikan keselamatan (safety), dan dengan sesedikit mungkin menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.
            Tindakan phlebotomi itu sendiri memiliki risiko, setidaknya adalah perdarahan yang berlebihan, pingsan atau perasaan "nggliyeng", hematoma, infeksi dan terjadinya beberapa tusukan akibat sulitnya mencari vena. Bila dikaitkan dengan pemeriksaan terhadap darah yang diambilnya, maka risiko lainnya adalah tertukarnya sampel, pengenceran darah bila diambil dariiv-line, emboli dll.
            Tampak disini bahwa issue penting yang mungkin berkaitan dengan tindakan phlebotomi adalah darah apa yang akan diambil, peralatan apa yang akan dipakai, dibagian anatomi mana mengambilnya, adakah iv-line yang sudah terpasang, bagaimana mencegah infeksi, bagaimana mencegah atau mengurangi rasa sakit, bagaimana berkomunikasi dengan pasien - termasuk memperoleh persetujuannya, bagaimana prosedur pelaksanaan yang benar agar tepat mengenai vena, dan faktor safety.
            Dengan demikian masalah medikolegal yang dapat ditarik adalah masalah siapa pelaksana phlebotomi (kompetensi dan kewenangannya), bagaimana prosedur standarnya, perlukah supervisi, dan siapa yang bertanggungjawab atas risiko yang terjadi.
Robert Lord. The Theory of BloodTaking. Student BMJ, last updated 13 Mei 2004

Pelaksana phlebotomi
         Di dalam praktek, phlebotomi di rumah sakit atau di laboratorium dapat dilakukan oleh perawat atau analis laboratorium atau orang yang dilatih khusus untuk itu, yang selanjutnya akan disebut sebagai teknisi phlebotomi.
      Kemampuan atau competency diperoleh seseorang dari pendidikan atau pelatihannya, sedangkan kewenangan atau authority diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang tersebut melalui pemberian ijin. Kewenangan memang hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya memiliki kewenangan.
    Dalam profesi kesehatan, hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran (setidaknya hingga saat ini), sedangkan kewenangan yang bersifat khusus, dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu, diserahkan pengaturannya pada profesi masing-masing.
           Sebagai dokter, perawat, dan bidan, kompetensi dalam melakukan tindakan phlebotomi telah dimilikinya dan kewenangan melakukannya pun telah dimilikinya, tanpa disebutkan secara eksplisit di dalam sertifikasi kompetensinya dan atau surat ijin praktek profesinya. Sedangkan bagi analis laboratorium dan teknisi phlebotomi, kompetensi mereka diperoleh dari pendidikan menengah atau pelatihan atau kursus, sehingga kompetensinya harus dinyatakan secara tegas di dalam sertifikat kompetensinya. Sertifikat kompetensi tersebut harus dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi tertentu.   Pendidikan analis laboratorium dan teknisi phlebotomi bukanlah pendidikan profesi, bukan pula pendidikan vokasi. 
Dalam peraturan perundangundangan di Indonesia belum diatur tenaga kesehatan yang disebut sebagai teknisi phlebotomi, oleh karena itu teknisi phlebotomi belum sah sebagai salah satu tenaga kesehatan. Ada kecenderungan bahwa suatu pekerja di bidang kesehatan akan lebih mudah diakui sebagai tenaga kesehatan apabila pendidikannya setidaknya mencapai D3. Hal ini perlu dilakukan agar konsumen kesehatan terjamin kepentingan dan keselamatannya. Sementara itu analis laboratorium atau analis kesehatan telah merupakan tenaga kesehatan sebagaimana diatur dalam PP 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, meskipun belum ada permenkes yang mengaturnya lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan kewenangannya melakukan phlebotomi.
Dengan demikian kewenangan melakukan oleh teknisi phlebotomi ataupun oleh analis laboratorium belum diakui sebagai suatu kewenangan yang mandiri, namun harus dianggap sebagai kewenangan yang memerlukan supervisi dari keprofesian yang menjadi "pemberi kerjanya" sebagai penanggung-jawabnya. Etika dan standar pekerjaannya pun harus ditetapkan, diatur dan ditegakkan oleh penanggungjawabnya.

1. Pasal 61 ayat (3) UU No 20 tahun 2003 tentang  Sisdiknas: sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi
2. Penjelasan pasal 15 UU No 20 tahun 2003 tentang  Sisdiknas : Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.

Etika Profesi dan Standar Profesi
            Etika profesi dibuat oleh organisasi profesi, atau tepatnya masyarakat profesi, untuk mengatur sikap dan tingkah-laku para anggotanya, terutama berkaitan dengan moralitas. Etika profesi di bidang kesehatan mendasarkan ketentuan-ketentuan di dalamnya kepada etika umum dan sifat-sifat khusus moralitas profesi pengobat pada umumnya, seperti patient autonomy, beneficence, non maleficence, justice, truth telling, privacy, confidentiality, loyality, dll. Etika profesi bertujuan untuk mempertahankan keluhuran profesi dan melindungi masyarakat yang berhubungan dengan profesi tersebut. Etika profesi umumnya dituliskan dalam bentuk Kode Etik dan pelaksanaannya diawasi oleh sebuah Majelis atau Dewan Kehormatan Etik.
            Standar Profesi terdiri dari 3 bagian, yaitu (a) standar kompetensi yang telah dibahas di atas sebagai bagian dari persyaratan profesi, (b) standar perilaku yang sebagian diatur dalam kode etik, dan (c) standar pelayanan. Standar pelayanan, yang dalam UU Kesehatan disebut sebagai standar profesi, diartikan sebagai pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Sebenarnya dalam pandangan hukum, standar berbeda dengan pedoman; standar tidak dapat disimpangi, pedoman dapat disimpangi. Standar harus dilaksanakan dan bila tidak dilaksanakan maka pelakunya dianggap melakukan kelalaian, sedangkan pedoman hanya berlaku sebagai petunjuk - pelanggaran atasnya bukan merupakan pelanggaran hukum.  Oleh karena itu di banyak negara standar dibuat hanya untuk yang pokok-pokok saja, sedangkan hal yang rinci diatur dalam pedoman-pedoman.
        Dengan mengingat bahwa tindakan phlebotomi masih merupakan lingkup keprofesian patologi klinik, maka etika dan standar yang berlaku bagi para teknisi phlebotomi ditetapkan oleh masyarakat profesi patologi klinik.  Masyarakat profesi ini pulalah yang bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasannya.
 Penjelasan ps 25 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK: Dewan Kehormatan kode etik dibentuk oleh organisasi profesi untuk menegakkan etika, pelaksanaan kegiatan profesi serta menilai pelanggaran profesi yang dapat merugikan masyarakat atau kehidupan profesionalisme di lingkungannya. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi organisasi profesi untuk melaksanakan fungsi kepengawasan di bidang profesi yang diperlukan untuk menjamin perlindungan masyarakat atas penyimpangan pelaksanaan profesi .
Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Phlebotomi
Salah satu ciri profesi sebagaimana diuraikan pada bagian depan adalah otonomi profesi, dalam arti self regulation, self governing dan self disciplining. Organisasi profesi membuat kode etik dan standar profesi, mengawasi pelaksanaannya, dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya - dengan atau tanpa adanya korban atau kerugian. Kesemuanya tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat, khususnya pengguna jasa profesi. Upaya itu merupakan bagian dari akuntabilitas profesi. Majelis atau Dewan Kehormatan Etik lah yang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan pemberian sanksi atas pelanggaran etik dan disiplin profesi.
            Sebuah profesi dikatakan akuntabel apabila organisasinya dapat memastikan bahwa pelayanan profesional di bidang itu hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang kapabel atau kompeten. Mereka harus memastikan bahwa profesional yang berpraktek harus tetap terjaga kompetensi dasarnya, dapat meningkatkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan jaman / iptek yang terkait, dan memastikan bahwa mereka bekerja mematuhi standar perilaku dan standar pelayanan yang diterbitkannya. Mekanisme pengawasan pelaksanaan standar harus disusun dan diterapkan, serta suatu instrumen untuk mengubah perilaku (deterrent effect) harus diberlakukan. Instrumen tersebut dapat berupa penghargaan (reward) atau berupa hukuman (punishment). Namun yang lebih penting adalah bahwa penghargaan ataupun hukuman tersebut dapat mencegah pengulangan kejadian yang serupa di kemudian hari.
            Sebagaimana telah disinggung di atas, organisasi profesi (tepatnya masyarakat profesi) dapat membentuk Dewan Kehormatan Kode Etik (atau apa pun namanya sepanjang fungsinya sama) yang akan melaksanakan proses persidangan (hearing) hingga pemberian sanksi atau pembinaan (disciplining).

Tanggung-jawab hukum
Tanggungjawab hukum kepada pasien dapat terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan yang melanggar hukum atau yang merugikan pasien. Sifatnya pun dapat merupakan kesengajaan ataupun kelalaian. Pelanggaran hukum dapat berupa tindakan tanpa informed consent, pelanggaran susila, pengingkaran atas janji atau jaminan, dan lain-lain. Sedangkan kelalaian diartikan sebagai "melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan, oleh orang-orang yang berkualifikasi sama pada situasi dan kondisi yang identik".
Pertanggungjawabannya dapat berupa tanggungjawab pidana dengan berbagai ancaman hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dapat pula berupa tanggungjawab perdata dalam bentuk pembayaran uang ganti rugi. Tanggungjawab pidana dibebankan langsung kepada pelakunya apabila kompetensi itu telah sah atau terakreditasi, atau menjadi tanggungjawab pemberi perintahnya apabila dalam kondisi sebaliknya. Penanggungjawab dianggap telah lalai memberikan perintah kepada orang untuk melakukan tindakan yang diluar kompetensinya, padahal diketahuinya bahwa kesalahan atau kerugian dapat terjadi karenanya. Sedangkan tanggungjawab perdatanya menjadi beban pemberi kerja berdasarkan doktrin respondeat superior atau pasal 1367 KUH Perdata.


Kesimpulan
            Aspek medikolegal phlebotomi yang utama adalah pertanggungjawaban atau akuntabilitas profesi patologi klinik beserta SDM yang bekerja dalam lingkup keprofesiannya kepada masyarakat.

Bahan bacaan
Goldman PH. Legal aspects of alternative medicine in Minnesota. Minnesota Medical Association. Vol 82, May 1999.
Bayles MD. Professional Ethics. Belmont: Wadsworth Inc, 1981.
Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991.
Leenen H, Gevers S, Pinet G. The rights of patients in Europe. Deventer: WHO and Kluwer Law and Taxation Publisher, 1993.
Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis: American College of Legal Medicine, 1998.
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-Undang No 18 tahun 2002 tentang IPTEK.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.




Comments
0 Comments

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Recent Posts