Pendahuluan
Tujuan phlebotomi adalah memperoleh sampel darah
dalam volume yang cukup untuk pemeriksaan yang dibutuhkan, dengan memperhatikan
pencegahan interferensi preanalisis, memasukkannya ke dalam tabung yang benar,
memperhatikan keselamatan (safety), dan dengan sesedikit mungkin menimbulkan
ketidaknyamanan pada pasien.
Tindakan
phlebotomi itu sendiri memiliki risiko, setidaknya adalah perdarahan yang
berlebihan, pingsan atau perasaan "nggliyeng", hematoma, infeksi dan
terjadinya beberapa tusukan akibat sulitnya mencari vena. Bila dikaitkan dengan
pemeriksaan terhadap darah yang diambilnya, maka risiko lainnya adalah
tertukarnya sampel, pengenceran darah bila diambil dariiv-line, emboli dll.
Tampak
disini bahwa issue penting yang mungkin berkaitan dengan tindakan
phlebotomi adalah darah apa yang akan diambil, peralatan apa yang akan dipakai,
dibagian anatomi mana mengambilnya, adakah iv-line yang sudah
terpasang, bagaimana mencegah infeksi, bagaimana mencegah atau mengurangi rasa
sakit, bagaimana berkomunikasi dengan pasien - termasuk memperoleh
persetujuannya, bagaimana prosedur pelaksanaan yang benar agar tepat mengenai
vena, dan faktor safety.
Dengan
demikian masalah medikolegal yang dapat ditarik adalah masalah siapa pelaksana
phlebotomi (kompetensi dan kewenangannya), bagaimana prosedur standarnya,
perlukah supervisi, dan siapa yang bertanggungjawab atas risiko yang terjadi.
Pelaksana phlebotomi
Di dalam praktek, phlebotomi di rumah sakit atau di
laboratorium dapat dilakukan oleh perawat atau analis laboratorium atau orang
yang dilatih khusus untuk itu, yang selanjutnya akan disebut sebagai teknisi
phlebotomi.
Kemampuan atau competency diperoleh seseorang dari
pendidikan atau pelatihannya, sedangkan kewenangan atau authority diperoleh
dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang tersebut melalui pemberian ijin.
Kewenangan memang hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun
adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya memiliki kewenangan.
Dalam
profesi kesehatan, hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan
dan kedokteran (setidaknya hingga saat ini), sedangkan kewenangan yang bersifat
khusus, dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu, diserahkan
pengaturannya pada profesi masing-masing.
Sebagai
dokter, perawat, dan bidan, kompetensi dalam melakukan tindakan phlebotomi
telah dimilikinya dan kewenangan melakukannya pun telah dimilikinya, tanpa
disebutkan secara eksplisit di dalam sertifikasi kompetensinya dan atau surat
ijin praktek profesinya. Sedangkan bagi analis laboratorium dan teknisi
phlebotomi, kompetensi mereka diperoleh dari pendidikan menengah atau pelatihan
atau kursus, sehingga kompetensinya harus dinyatakan secara tegas di dalam
sertifikat kompetensinya. Sertifikat kompetensi tersebut harus dikeluarkan oleh
lembaga pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi
tertentu. Pendidikan
analis laboratorium dan teknisi phlebotomi bukanlah pendidikan profesi, bukan
pula pendidikan vokasi.
Dalam
peraturan perundangundangan di Indonesia belum diatur tenaga kesehatan yang
disebut sebagai teknisi phlebotomi, oleh karena itu teknisi phlebotomi belum
sah sebagai salah satu tenaga kesehatan. Ada kecenderungan bahwa suatu pekerja
di bidang kesehatan akan lebih mudah diakui sebagai tenaga kesehatan apabila
pendidikannya setidaknya mencapai D3. Hal ini perlu dilakukan agar konsumen
kesehatan terjamin kepentingan dan keselamatannya. Sementara itu analis
laboratorium atau analis kesehatan telah merupakan tenaga kesehatan sebagaimana
diatur dalam PP 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, meskipun belum ada
permenkes yang mengaturnya lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan
kewenangannya melakukan phlebotomi.
Dengan
demikian kewenangan melakukan oleh teknisi phlebotomi ataupun oleh analis
laboratorium belum diakui sebagai suatu kewenangan yang mandiri, namun harus
dianggap sebagai kewenangan yang memerlukan supervisi dari keprofesian yang
menjadi "pemberi kerjanya" sebagai penanggung-jawabnya. Etika dan
standar pekerjaannya pun harus ditetapkan, diatur dan ditegakkan oleh
penanggungjawabnya.
1. Pasal
61 ayat (3) UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: sertifikat
kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada
peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi
2. Penjelasan pasal 15 UU No 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas : Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi
setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki
pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan vokasi merupakan
pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
Etika Profesi dan Standar Profesi
Etika profesi dibuat oleh organisasi
profesi, atau tepatnya masyarakat profesi, untuk mengatur sikap dan tingkah-laku
para anggotanya, terutama berkaitan dengan moralitas. Etika profesi di bidang
kesehatan mendasarkan ketentuan-ketentuan di dalamnya kepada etika umum dan
sifat-sifat khusus moralitas profesi pengobat pada umumnya, seperti patient
autonomy, beneficence, non maleficence, justice, truth telling, privacy,
confidentiality, loyality, dll. Etika profesi bertujuan untuk mempertahankan
keluhuran profesi dan melindungi masyarakat yang berhubungan dengan profesi
tersebut. Etika profesi umumnya dituliskan dalam bentuk Kode Etik dan
pelaksanaannya diawasi oleh sebuah Majelis atau Dewan Kehormatan Etik.
Standar
Profesi terdiri dari 3 bagian, yaitu (a) standar kompetensi yang telah dibahas
di atas sebagai bagian dari persyaratan profesi, (b) standar perilaku yang
sebagian diatur dalam kode etik, dan (c) standar pelayanan. Standar pelayanan,
yang dalam UU Kesehatan disebut sebagai standar profesi, diartikan sebagai
pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi
secara baik. Sebenarnya dalam pandangan hukum, standar berbeda dengan pedoman;
standar tidak dapat disimpangi, pedoman dapat disimpangi. Standar harus
dilaksanakan dan bila tidak dilaksanakan maka pelakunya dianggap melakukan
kelalaian, sedangkan pedoman hanya berlaku sebagai petunjuk - pelanggaran
atasnya bukan merupakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu di banyak
negara standar dibuat hanya untuk yang pokok-pokok saja, sedangkan hal yang
rinci diatur dalam pedoman-pedoman.
Dengan
mengingat bahwa tindakan phlebotomi masih merupakan lingkup keprofesian
patologi klinik, maka etika dan standar yang berlaku bagi para teknisi
phlebotomi ditetapkan oleh masyarakat profesi patologi klinik. Masyarakat
profesi ini pulalah yang bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasannya.
Penjelasan ps 25
UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK: Dewan Kehormatan kode etik dibentuk oleh
organisasi profesi untuk menegakkan etika, pelaksanaan kegiatan profesi serta
menilai pelanggaran profesi yang dapat merugikan masyarakat atau kehidupan
profesionalisme di lingkungannya. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk
memberikan landasan hukum bagi organisasi profesi untuk melaksanakan fungsi
kepengawasan di bidang profesi yang diperlukan untuk menjamin perlindungan
masyarakat atas penyimpangan pelaksanaan profesi .
Pembinaan
dan Pengawasan Pelaksanaan Phlebotomi
Salah satu
ciri profesi sebagaimana diuraikan pada bagian depan adalah otonomi profesi,
dalam arti self regulation, self governing dan self disciplining.
Organisasi profesi membuat kode etik dan standar profesi, mengawasi
pelaksanaannya, dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya - dengan
atau tanpa adanya korban atau kerugian. Kesemuanya tersebut ditujukan untuk
melindungi masyarakat, khususnya pengguna jasa profesi. Upaya itu merupakan
bagian dari akuntabilitas profesi. Majelis atau Dewan Kehormatan Etik lah yang
melakukan pengawasan, pemeriksaan dan pemberian sanksi atas pelanggaran etik
dan disiplin profesi.
Sebuah
profesi dikatakan akuntabel apabila organisasinya dapat memastikan bahwa
pelayanan profesional di bidang itu hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang
kapabel atau kompeten. Mereka harus memastikan bahwa profesional yang
berpraktek harus tetap terjaga kompetensi dasarnya, dapat meningkatkan
kompetensinya sesuai dengan perkembangan jaman / iptek yang terkait, dan
memastikan bahwa mereka bekerja mematuhi standar perilaku dan standar pelayanan
yang diterbitkannya. Mekanisme pengawasan pelaksanaan standar harus disusun dan
diterapkan, serta suatu instrumen untuk mengubah perilaku (deterrent effect)
harus diberlakukan. Instrumen tersebut dapat berupa penghargaan (reward) atau
berupa hukuman (punishment). Namun yang lebih penting adalah bahwa penghargaan
ataupun hukuman tersebut dapat mencegah pengulangan kejadian yang serupa di
kemudian hari.
Sebagaimana
telah disinggung di atas, organisasi profesi (tepatnya masyarakat profesi)
dapat membentuk Dewan Kehormatan Kode Etik (atau apa pun namanya sepanjang
fungsinya sama) yang akan melaksanakan proses persidangan (hearing) hingga
pemberian sanksi atau pembinaan (disciplining).
Tanggung-jawab hukum
Tanggungjawab
hukum kepada pasien dapat terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan yang
melanggar hukum atau yang merugikan pasien. Sifatnya pun dapat merupakan
kesengajaan ataupun kelalaian. Pelanggaran hukum dapat berupa tindakan
tanpa informed consent, pelanggaran susila, pengingkaran atas janji atau
jaminan, dan lain-lain. Sedangkan kelalaian diartikan sebagai "melakukan
perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan perbuatan yang
seharusnya dilakukan, oleh orang-orang yang berkualifikasi sama pada situasi dan
kondisi yang identik".
Pertanggungjawabannya
dapat berupa tanggungjawab pidana dengan berbagai ancaman hukuman sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dan dapat pula berupa tanggungjawab perdata dalam
bentuk pembayaran uang ganti rugi. Tanggungjawab pidana dibebankan langsung
kepada pelakunya apabila kompetensi itu telah sah atau terakreditasi, atau
menjadi tanggungjawab pemberi perintahnya apabila dalam kondisi sebaliknya.
Penanggungjawab dianggap telah lalai memberikan perintah kepada orang untuk melakukan
tindakan yang diluar kompetensinya, padahal diketahuinya bahwa kesalahan atau
kerugian dapat terjadi karenanya. Sedangkan tanggungjawab perdatanya menjadi
beban pemberi kerja berdasarkan doktrin respondeat superior atau pasal 1367 KUH
Perdata.
Kesimpulan
Aspek
medikolegal phlebotomi yang utama adalah pertanggungjawaban atau akuntabilitas
profesi patologi klinik beserta SDM yang bekerja dalam lingkup keprofesiannya
kepada masyarakat.
Bahan bacaan
Goldman PH.
Legal aspects of alternative medicine in Minnesota. Minnesota Medical
Association. Vol 82, May 1999.
Bayles MD.
Professional Ethics. Belmont: Wadsworth Inc, 1981.
Jackson JP
(ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991.
Leenen H,
Gevers S, Pinet G. The rights of patients in Europe. Deventer: WHO and Kluwer
Law and Taxation Publisher, 1993.
Sanbar SS,
Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis:
American College of Legal Medicine, 1998.
Undang-Undang
No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-Undang
No 18 tahun 2002 tentang IPTEK.
Undang-Undang
No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.