BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tinea
versikolor adalah infeksi jamur superfisial yang kronik pada stratum korneum
kulit dan biasanya tidak terdapat keluhan subyektif. Sinonim
dari tinea versikolor adalah pitiriasis versikolor, dermatomikosis furfurasea,
kromofitosis, liver spots, tinea flava, tinea versikolor tropika,
dan panu. Penyakit ini untuk pertama kali dikenal sebagai penyakit jamur
pada tahun 1846 oleh Eichted. Pada tahun 1853, Robin memberikan nama
pada jamur penyebab penyakit ini dengan nama Microsporum
furfur dan pada 1889 oleh Baillon spesies ini diberi nama Mallassezia
furfur. Penelitian selanjutnya dan sampai sekarang menunjukkan bahwa Malassesia
furfur dan Pityrosporum orbicularemerupakan organisme yang
sama.
Tinea
versikolor termasuk penyakit universal tapi lebih banyak dijumpai di daerah
tropis oleh karena tingginya temperatur dan kelembaban. Pada beberapa negara
seperti Meksiko, Samoa, Amerika Tengah, Amerika Selatan, India, Afrika, Kuba,
Asia Barat, dan Fiji lebih dari 50% penduduknya menderita tinea versikolor.
Menyerang hampir semua usia terutama remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun.
Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, walaupun di Amerika Serikat
dilaporkan bahwa penderita berusia 20-30 tahun dengan perbandingan 1,09% pria
dan 0,6% wanita. Menurut laporan Diana dkk pada tahun 1993 untuk epidemiologi
mikosis superfisialis, di Indonesia angka prevalensi tinea versikolor menempati
urutan pertama yakni 53,2% disusul dengan dermatofitosis dan kandidiasis kutis.
Tinea
versikolor memiliki karakteristik berupa makula yang multipel dan bercak lesi
yang bervariasi mulai dari hipopigmentasi, kekuning-kuningan, kemerahan
sampai kecoklatan atau hiperpigmentasi tergantung dari warna normal kulit pasien.
Tinea versikolor bercaknya terutama meliputi badan, dan kadang-kadang dapat
menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, dan kulit
kepala yang berambut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Etiologi
tinea versikolor
2. Bagaimana
morfologi tinea versikolor ?
3. Bagaimana
epidemiologi tinea versikolor ?
4. Bagaimana
pathogenesis tinea versikolor ?
5. Bagaimana
diagnosis tinea versikolor ?
6. Bagaimana
gejala klinis tinea versikolor ?
7. Bagaimana
pencegahan dan pengobatan tinea versikolor ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
etiologi jamur tinea versikolor
2. Mengetahui
morfologi jamur tinea versikolor
3. Mengetahui
epidemiologi tinea versikolor
4. Mengetahui
pathogenesis tinea versikolor
5. Mengetahui
diagnosis jamur tinea versikolor
6. Mengetahui
gejala klinis tinea versikolor
7. Mengetahui
pencegahan dan pengobatan tinea versikolor
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi Jamur Tinea Versikolor
Tinea versikolor merupakan suatu infeksi yang agak sering
terjadi (terutama pada dewasa muda), yang disebabkan oleh jamur Pytirosporum
orbiculare. Jamur ini agaknya merupakan bagian dari flora normal pada kulit
manusia dan hanya menimbulkan gangguan pada keadaan-keadaan tertentu. Bagian
tubuh yang sering terkena adalah punggung, lengan atas, lengan bawah, dada dan
leher. Lebih sering ditemukan di daerah beriklim panas dan berhubungan
dengan meningkatnya pengeluaran keringat.
Tinea versikolor di sebabkan oleh Malassezia
furfur, yang dengan pemeriksaan morfologi dan imunofloresensi indirek
ternyata identik dengan Pityrosporum orbiculare.
2.2 Morfologi Jamur Tinea
Versikolor
Tinea versicolor adalah infeksi ringan yang sering
terjadi yang nampak sebagai akibat Malassezia furfur yang tumbuh berlebihan,
yaitu jamur seperti ragi yang merupakan anggota flora normal. Pertumbuhannya
pada kulit (stratum korneum) berupa kelompok sel-sel bulat,bertunas, berdinding
tebal dan memiliki hifa yang berbatang pendek dan bengkok, biasanya tidak
menyebabkan tanda-tanda patologik selain sisik halus sampai kasar. Bentuk
lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dan ukuran lesi dapat milier,lentikuler,
numuler sampai plakat.
v Ada dua bentuk
yang sering dijumpai :
Bentuk makuler :
Berupa
bercak-bercak yang agak lebar, dengan sguama halus diatasnya dan tepi
tidak meninggi.
Bentuk
folikuler :
Seperti
tetesan air, sering timbul disekitar rambut.
2.3 Epidemiologi Tinea Versikolor
Pitiriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah
tropis dan mempunyai kelembabab tinggi. Walaupun kelainan kulit lebih terlihat
pada orang berkulit gelap, namun angka kejadian pitiriasis versikolor sama di
semua ras. Beberapa penelitian mengemukakan angka kejadian pada pria dan wanita
dalam jumlah yang seimbang. Di Amerika Serikat, penyakit ini banyak ditemukan
pada usia 15-24 tahun, dimana kelenjar sebasea (kelenjar minyak) lebih aktif
bekerja. Angka kejadian sebelum pubertas atau setelah usia 65 tahun jarang
ditemukan. Di negara tropis, penyakit ini lebih sering terjadi pada
usia 10-19 tahun.
Pitiriasis versiklor, atau tinea versikolor, atau panu
termasuk mikosis superfisialis yang sering dijumpai. Sekitar 50% penyakit kulit
di masyarakat daerah tropis adalah panu, sedang di daerah subtropis sekitar 15%
dan di daerah dingin kurang dari 1%. Panu umumnya tidak menimbulkan
keluhan, paling-paling sedikit gatal, tetapi lebih sering menyebabkan gangguan
kosmetik, terutama pada penderita wanita.
2.4 Patogenesis Tinea Versikolor
Tinea Versikolor, merupakan
organisme saprofit pada kulit normal. Bagaimanaperubahan dari saprofit menjadi
patogen belum diketahui. Organisme ini merupakan "lipid dependent
yeast". Timbulnya penyakit ini juga dipengaruhi oleh faktor hormonal,
ras, matahari,peradangan kulit dan efek primer pytorosporum terhadap
melanosit.
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan
dengan timbulnya pitiriasis versikolor ialah pityrosporum orbiculare yang
berbentuk bulat atau pityrosporum ovale yang berbentuk oval. Keduanya merupakan
organisme yang sama, dapat berubah sesuai dengan lingkungannya, misalnya suhu,
media, dan kelembaban.
Malassezia furfur merupakan fase spora dan
miselium. Factor predisposisi menjadi pathogen dapat endogen atau
eksogen. Endogen dapat disebabkan di antaranya oleh defisiensi imun. Eksogen
dapat karena faktor suhu, kelembaban udara, dan keringat.
2.5 Diagnosis Tinea Versikolor
Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi
kulit dengan lampu Wood, dan sedian langsung.
Gambaran klinis yang khas berupa bercak bewarna putih
sampai coklat, merah dan hitam, dengan distribusi tersebar, berbatas tegas
dengan skuama halus diatasnya. Pada pemeriksaan mikroskopis langsung, dengan
larutan KOH 10-20%, tampak hifa pendek bersepta, kadang-kadang bercabang, atau
hifa terpotong-potong, dengan spora berkelompok. Pemeriksaan dengan lampu Wood
memberikan floresensi berwarna kuning emas.
Diagnosis Banding
Penyakit ini
harus di bedakan dengan :
Dermatitis seboroika : Kelainan kulit berupa eritema dan
skuama yang berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas.
Predileksinya pada daerah yang berambut, karena banyak kelenjar sebasea, yaitu
kulit kepala, retroaurikkula, alis mata, bulu mata, sulkus nasolabialis,
telinga, leher, dada, daerah lipatan, aksila, inguinal, glutea, dibawah buah
dada.
Eritrasma : Lesi berupa eritema dan skuama halus terutama
pada daerah ketiak dan lipatran paha. Pada pemeriksaan dengan lampu
Wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral red fluorescence) di
sebabkan oleh terdapatnya koproporfirin III pada lesi. Organisme yang terlihat
pada sediaan langsung sebagai batang pendek halus, bercabang,
berdiameter 1 u atau kurang, yang mudah putus sebagai bentuk basil kecil atau
difteroid.
Sifilis II : disertai limfadenitis generalisata
Morbus Hansen : terdapat hipopigmentasi/eritema dengan
distribusi yang tidak simetris dan hilangnya sensasi yang jelas pada daerah
lesi (kehilangan sensoris/anastesia karena menyerang susunan saraf tepi).
Pitiriasis alba : Sering di jumpai pada anak-anak berumur
3-16 tahun (30-40%). Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tidak
beraturan. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus.
Setelah eritema hilang, lesi yang dijumpai hannya depigmentasi dengan skuama
halus. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2 cm. Pada
anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut,
dagu, pipi, serta dahi. Umunya lesi bersifat asimtomatik, meskipun
kadang-kadang penderita mengeluhkan panas atau gatal.
Vitiligo : Kelainan ini berupa makula berwarna putih
(hipopigmentasi) yang hipomelanotik di daerah terbuka misalnya muka, punggung,
tangan. Makula mempunyai gambaran konveks dan bertambah secara teratur. Gejala
subyektif tidak ada, tetapi dapat timbul rasa panas pada lesi
2.6 Gejala Klinis Tinea Versikolor
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial
dan ditemukan terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak
berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas dan difus.
Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila di lihat dengan lampu Wood. Bentuk
papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik
sehingga ada kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.
Lesi kulit berupa bercak putih sampai coklat, merah, dan
hitam. Di atas lesi terdapat sisik halus. Bentuk lesi tidak teratur, dapat
berbatas tegas atau difus. Sering didapatkan lesi bentuk folikular atau lebih
besar, atau bentuk numular yang meluas membentukplakat, kadang-kadang dijumpai
bentuk campuran, yaitu folikular dengan numular, folikular dengan plakat
ataupun folikular, atau numular dengan plakat.
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan,
yang merupakan alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar
matahari atau kemungkinan pengaruh toksik jamur terhadap pembentukan pigmen,
sering di keluhkan penderita. Biasanya penderita datang berobat karena alasan
kosmetik yang disebabkan bercak hipopigmentasi.
Variasi warna lesi pada penyakit ini tergantung pada
pigmen normal kulit penderita, paqparan sinar matahari, dan lamanya penyakit.
Kadang-kadang warna lesi sulit dilihat, tetapi skuamanya dapat dilihat dengan
pemeriksaan goresan pada permukaan lesi dengan kuret atau kuku jari tangan (coup
d’angle dari Beisner).
Penyakit ini sering di lihat pada remaja, walaupun
anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari infeksi. Menurut BURKE *(1961)
ada beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi, yaitu faktor heriditer,
penderita yang sakit kronik atau yang mendapat pengobatan steroid dan
malnutrisi.
2.7 Pencegahan Dan Pengobatan Tinea
Versikolor
Pengobatan
Obat Topikal
Dapat dipakai misalnya suspensi selenium sulfida 2,5%
dalam bentuk losion atau bentuk sampo dipakai 2-3 kali seminggu. Obat
digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30 menit sebelum mandi.
Obat-obat lain ialah salisil spiritus 10%;
derivat-derivat azol, misalnya mikonazol, krotrimazol, isokonazol, dan
ekonazol; sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%; toksiklat; tolnaftat,
dan haloprogin. Larutan tiosulfas natrikus 25% dapat pula digunakan; dioleskan
sehari 2 kali sehabis mandi selama 2 minggu, tetapi obat ini berbau tidak enak.
Obat Sistemik
Obat ini digunakan jika lesi sulit disembuhkan atau luas.
Ketokonazol dapat dipertibangkan dengan dosis 1 kali 200 mg sehari
selama 10 hari.
Pencegahan
Seseorang yang pernah menderita tinea versikolor
sebaiknya menghindari cuaca panas atau keringat yang berlebihan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Tinea versikolor merupakan suatu infeksi yang agak sering
terjadi (terutama pada dewasa muda), yang disebabkan oleh jamur Pytirosporum
orbiculare.
Ada dua bentuk yang sering dijumpai
·
Bentuk
makuler
·
Bentuk
folikuler
Pitiriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah
tropis dan mempunyai kelembabab tinggi. Pitiriasis
versiklor, atau tinea versikolor, atau panu termasuk mikosis superfisialis yang
sering dijumpai.
Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi
kulit dengan lampu Wood, dan sedian langsung.
Obat ini digunakan jika lesi sulit disembuhkan atau luas.
Ketokonazol dapat dipertibangkan dengan dosis 1 kali 200 mg sehari
selama 10 hari.
Obat-obat lain ialah salisil spiritus 10%;
derivat-derivat azol, misalnya mikonazol, krotrimazol, isokonazol, dan
ekonazol; sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%; toksiklat; tolnaftat,
dan haloprogin. Larutan tiosulfas natrikus 25% dapat pula digunakan; dioleskan
sehari 2 kali sehabis mandi selama 2 minggu, tetapi obat ini berbau tidak enak.
3.2
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya bias lebih baik lagi, atas perhatiannya penulis
ucapkan terimakasih.