PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Transfusi darah
adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang
ke sistem peredaran orang
lainnya. Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan
darah dalam jumlah besar disebabkantrauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.
Reaksi transfuse adalah reaksi yang terjadi selama tranfusi darah yang tidak
diinginkan berkaitan dengan tranfusi itu. sejak dilakukannya tes komatibilitas
untuk menentukan adanya antibody terhadap antigen sel darah merah, efek samping
transfusi umumnya disebabkan oleh leokosit , trombosit dan protein
plasma.Gejala bervariasi mungkin tidak terdapat gejala atau gejalanya tidak
jelas, ringan samapi berat.
pemberian
transfusi darah mempunyai risiko penularan penyakit. Di antaranya penyakit
infeksi menular lewat transfusi darah (IMLTD), terutama HIV/AIDS, hepatitis C,
hepatitis B, sifilis, dan malaria. Dalam transfusi darah, keamanan tindakan
transfusi darah bergantung pada seleksi donor, proses dari pengeluaran darah
dari vena donor sampai dengan tindakan memasukkan darah ke vena pasien, juga
ketepatan indikasi.
Selain itu
pendonor memenuhi kriteria sebagai pendonor darah berisiko rendah (low risk
donor) terhadap infeksi yang ditularkan melalui transfusi darah. Selama ini uji
saring yang dilakukan berupa skrining darah yang telah memenuhi standar WHO.
Di antaranya
dengan metode ELISA (enzyme linked immuno sorbent assay), yaitu metode yang
umum dipakai untuk mendeteksi antigen atau antibodi yang dihasilkan tubuh
sebagai tanggapan atas kehadiran virus. Karena itu, perlu jangka waktu tertentu
dari awal terjangkitnya infeksi sampai terdeteksinya antigen atau antibodi
dalam darah yang disebut dengan window period.
2.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana klasifikasi virus EBV ?
2. Bagaimana pathogenesis virus EBV ?
3. Bagaimana gejala penyakit virus epstein barr ?
4. Bagaimana proses penyebaran virus melalui transfuse darah ?
2.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui
klasifikasi virus EBV
2.
Untuk mengetahui
pathogenesis virus EBV
3.
Untuk mengetahui gejala
penyakit EBV
4.
Untuk mengetahui proses
penyebaran melalui transfuse
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Klasifikasi
Virus EBV
Virus Epstein Barr (virus EB) juga
disebut herpesvirus manusia 4 yang termasuk dalam famili herpes ( yang juga
termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan salah
satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu menyebabkan mononukleosis
infeksiosa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.
Sel target virus EB adalah limposit B. Virus EB biasanya ditularkan melalui air
liur yang terinfeksi dan memulai infeksi di orofaring. Diagnosis tidak hanya
berdasarkan gejala-gejala yang dialami, namun juga dengan pemeriksaan darah.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin virus EB. Virus Epstein-Barr berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang
bersama dengan Bert Achong, menemukan virus ini tahun 1964.
2.2. Patogenesis Virus EBV
Virus
Ebstein Barr masuk ke dalam tubuh manusia kemudian bereplikasi dalam sel-sel
epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus ini terjadi pada dua
tempat yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai
menginfeksi dengan cara berikatan dengan komplemen C3d (CD21 atau CR2).
Mekanisme masuknya EBV dan terjanya infeksi kemungkinan dengan cara: 1) melaui
hubungan langsung antara sel pada membrane bagian apical yang dengan limfosit
yang sudah terifeksi virus, 2) melalui membrane basolateral, yang dimediasi
oleh adanya interaksi antara integrin β1 atau α5B1 dengan EBV, 3) melalui
penyebaran virus secara langung melalui membrane lateral yang terjadi setelah
pertama kali terinfeksi EBV (Tugizov at all cit Hariwiyanto). Infeksi virus
pada limfosit B dimungkinkan karena adanya ikatan antara reseptor membrane
glikoprotein gp350/220 pada kapsul EBV dengan protein CD21 dipermukaan limfosit
B sebagai targetnya. Setelah mengikat reseptor CD21 pada limfisit B, EBV dalam
waktu 1-2 jam akan masuk ke sitoplasma sel penjamu kemudian terjadi fusi TR
(Terminal Repeat), yang menyebabkan epitop berbentuk sirkuler,
partikel-partikel EBV akan terurai dan genom-genom EBV akan masuk ke dalam
nucleus, yang merupakan bentuk EBV infeksi laten, yang ditandai dengan proses
aktivasi dan proliferasi sel yang disebut sebagai pengabadian EBV pada sel
limfosit B. Proses ini melibatkan interaksi beberapa kompleks glikoprotein
virus termasuk gH dan gL yang merupakan homolog dari molekul gp42 dengan MHC
kelas II pada limfosit B.
Pada kondisi
normal infeksi EBV dapat terkontrol dan masuk ke fase latent, dimana hanya
sedikit sel B yang terinfeksi. Fase litik dapat terjadi baik di epitel rongga
mulut maupun di sel B yang terletak berdekatan dengan epitel rongga mulut
sehingga menyebabkan EBV yang infeksious banyak terdapat di rongga mulut
sehingga dapat menular pada orang lain. Pada keganasan yang berhubungan dengan
EBV, genom EBV genom EBV muncul pada setiap sel tumor dalam bentuk episom yang
latent ( latent episomal) dan genom tersebut akan mengadakan replikasi selama
pembelaha sel. Ekspresi DNA pada EBV yang berbentuk latent episomal tersebut
dapat dijadikan sebagai dasar dalam mendeteksi funsi virus pada perkembangan
KNF.
Langkah awal
infeksi litik EBV ditandai dengan aktivitas protein ZEBRA yang disandi oleh gen
BZLF1 yang terdapat pada sel epitel dan limfosit B. Beberapa produk yang
berbeda-beda dari gen yang mempuyai korelasi dengan tahapan siklus replikasi
litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi: Early Membrane Antigen
(EMA), Early Intra- Celulair Atigen (EA), Viral capcid Antigen (VCA),Late
Membrane Antigen (LMA). Pada infeksi latent terjadi ekspresi dari beberapa
protein antara lain: Epstein Barr Nucleus Antigen 2 & 5 (EBNA 2 & 5)
yang dapat diteksi 2-5 jam setelah infeksi, Latent Membrane Protein 1 & 2 (LMP
1&2) yang dapat diteksi 5-7 jam setelah infeksi.
Infeksi
laten yang bersifat diam dan tidak memproduksi partikel-partikel virus yang
baru, dikaitkan salah satunya dengan KNF. Bentuk laten infeksi EBV pada KNF
termasuk tipe II dengan karakteristik terekspresinya protein LMP disamping
protein EBER dan EBNA1.
Mekanisme
pasti bagaimana EBV dapat menginduksi terjadinya kanker masih belum bisa
dipastikan. Akan tetapi penelitian selanjutnya tentang ekspresi dari gen Latent
Membrane Protein (LMP) menunjukkan bisa mengubah sel epitel nasofaring in
vitro, dan diperkirakan bahwa LMP pada sel yang terinfeksi EBV memproteksi sel
tersebut dari program kematian sel atau apoptosis. Sedangkan pada penelitian
lainnya ditemukan juga gen LMP ini terdapat pada 65% penderita KNF .
KNF dibagi
berdasarkan stadium-stadium yang telah ditetapkan oleh The American Joint
Commission on Cancer (AJCC). Stadium tersebut nantinya dipakai sebagai
diagnostik dan terapi serta prognostik suatu penderita KNF.
2.3. Gejala penyakit virus Epstein barr
Adapun gejala-gejala
yang biasa dikeluhkan oleh penderita KNF antara lain adanya benjolan
dileher(76%), gangguan di hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala
(35%), penglihatan ganda (11%), rasa kebas diwajah (8%), penurunan berat badan
(7%) dan trismus (3%). Biasanya tanda klinis yang didapatkan pada penderita KNF
saat diagnosa ditegakkan adalah pembesaran kelenjar getah bening leher (75%)
dan kelainan saraf cranial (20%). Diagnosa pasti suatu KNF diambil melalui
biopsi nasofaring yang didukung oleh visualisasi melalui endoskopi atau
pencitraan dengan potongan melintang.
Terapi saat
ini terhadap KNF masih berupa radioterapi dan kemoterapi. Sedangkan pembedahan
hanya sedikit berperan didalam penatalaksanaan KNF, dimana hanya terbatas pada
diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan
metastase leher setelah radioterapi dan pada pasien tertentu pembedahan
penyelamatan dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring.
Beberapa tanda dan gejala penyakit
virus Epstein Barr kronis adalah kehilangan memori, gangguan konsentrasi, nyeri
otot, nyeri di sepanjang bergabung dengan gangguan tidur. Saat ini tidak ada
bukti klinis hampir didirikan ini Sindrom Kelelahan kronis dapat dikirim dari
satu orang ke orang lain. Penyebab sebenarnya dari sindrom kelelahan Namun
belum diketahui peneliti percaya individu T-sel penyakit penyakit leukemia,
virus herpes manusia-6 bersama dengan Enterovirus mungkin sangat terkait dengan
penyebabnya.
2.4. Penyebaran Virus Melalui
Transfusi Darah
EBV dapat menginfeksi siapa pun. Orang dewasa, 90%
-95% laki-laki dan perempuan telah terinfeksi EBV; infeksi yang paling sering
terjadi pada usia 5-25 tahun. Tidak mengherankan, 1% -3% dari mahasiswa
terjangkit mono setiap tahun, paling sering ditularkan melalui air liur (sehingga
dinamakan kissing disease). Namun, mono juga dapat menyebar melalui
darah dan cairan kelamin. Air liur
adalah metode utama penularan mono. Infeksi mononukleosis dikenal umum
sebagai kissing disease karena ini adalah cara utama penularan
di kalangan remaja. Seseorang dengan mono juga dapat menularkan penyakit
melalui batuk atau bersin, akibatnya tetesan kecil air liur yang terinfeksi dan
/ atau lendir akan menyebar melalui udara dan dihirup oleh orang lain. Berbagi
makanan atau minuman dari wadah atau peralatan makan yang sama juga dapat
mentransfer virus dari satu orang ke orang lain, karena dapat terjadi kontak
dengan ludah yang terinfeksi.
Media penularan virus selain
dari air liur sebagai media utama atau yang paling sering terjadi, virus EBV
juga dapat menular melalui aliran darah. Virus EBV dapat ditularkan melaui
proses tranfusi darah dari orang telah terinfeksi virus EBV sebelumnya.
Antibody Virus EBV tidak dapat terdeteksi sampai minggu kedua dan ketiga dari
penyakit sehingga pada selang waktu tersebut orang yang telah terinfeksi dan melakukan transfuse darah tidak akan
diketahui keberadaan virus EBV dalam darahnya. Sehingga pada proses transfuse
darah akan menyebabkan infeksi virus EBV pada resipen yang menerima pemberian
darah dari reservoir atau sumber infeksi virus.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Virus Epstein Barr (virus EB) juga
disebut herpesvirus manusia 4 yang termasuk dalam famili herpes ( yang juga
termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan salah
satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu menyebabkan mononukleosis
infeksiosa.
Virus Epstein-Barr berasal dari nama
Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong, menemukan
virus ini tahun 1964.
Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B.
Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B.
Beberapa tanda dan gejala penyakit
virus Epstein Barr kronis adalah kehilangan memori, gangguan konsentrasi, nyeri
otot, nyeri di sepanjang bergabung dengan gangguan tidur.
2.2 Saran
Sebaiknya
pada proses tranfusi darah pencegahan dan penanganan terhadap penyakit infeksi
menular lewat transfuse darah ( IMLTD ) lebih diutamakan karena lebih
membahayakan kesehatan resipien daripada kekurangan darah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Virus_Epstein-Barr
http://ridwanaz.com/kesehatan/jenis-jenis-virus-yang-menyerang-manusia/
http://id.prmob.net/epstein-barr-virus/yvonne-barr/kanker-320975.html
http://phiijustmuggle.wordpress.com/tag/epstein-barr-virus/
http://ridwanaz.com/kesehatan/jenis-jenis-virus-yang-menyerang-manusia/
http://id.prmob.net/epstein-barr-virus/yvonne-barr/kanker-320975.html
http://phiijustmuggle.wordpress.com/tag/epstein-barr-virus/