TUGAS
VIROLOGI
KASUS
PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH VIRUS HEPATITIS C
“DETEKSI
HEPATITIS C METODE PCR”
OLEH
LAODE
YAZID BASHAR
A201701084
PROGRAM
STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN
STIKES
MANDALA WALUYA KENDARI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Virus hepatitis C (HCV) ditemukan pada
tahun 1989 dan merupakan penyebab utama hepatitis non A non B pasca transfuse.
Virus ini dapat menyebabkan penyakit liver akut, kronik, sirosis hati yang
berpotensi menjadi kanker hati I(hepatocellular carcinoma /HCC). Pada umumnya
infeksi HCV menunjukkan gejala ringan bahkan ada pengidap yang tidak
menunjukkan gejala, meskipun demikian 50% daTi individu yang terinfeksi
terlihat berkembang menjadi hepatitis kronik, dan 20% menjadi sirosis. Menurut
COLOMBO dkk, NISHIOKA dkk, dan KHAN dkk yang dikutip oleh WIDJAJA. dan BRUIX
18), mengemukakan adanya keterkaitan infeksi HCV dengan kanker hati.
Daya penularan penyakit ini sangat
tinggi terutama di negara berkembang clan padat penduduknya termasuk Indonesia.
Saat ini prevalensi hepatitis C diantara donor darah bervariasi antara 0,1
-0,3% di Eropa Barat clan Amerika Utara sedangkan di Jepang sampai 1,2%. Hal
ini dikemukakan oleh ALTER dalam WIDJAJA, sedangkan menurut BUDIHUSODO dkk.
(9), prevalensi di Indonesia 0,5 -3,4%. Salah satu faktor penularan HCV antara
lain adalah daTi organ maupun jaringan yang terinfeksi HCV yang
ditransplantasikan. Hasil penelitian PEREIRA dkk menyatakan prevalensi anti HCV
dalam donor darahjenazah adalah 1,8% .
Pada transplantasi jaringan biologi, faktorfaktor
penyebab penyakit setelah transplantasi antara lain karena infeksi kuman clan
virus. Oleh karenanya, jaringan biologi tersebut yang berasal daTi donor hidup
maupun jenazah, harus bebas daTi kuman penyakit clan virus seperti HBV, HCV,
clan HIV. Oalam perkembangan Bank ]aringan di Indonesia khususnya Bank ]aringan
Riset Batan, sangat diperlukan penelitian sehubungan dengan penyediaan jaringan
biologi berkualitas tinggi. Penelitian yang sangat perlu dilaksanakan adalah
deteksi ageD penyebab penyakit khususnya virus (HBV, HCV, HIVI dari donor organ
maupun jaringan melalui pemeriksaan darahnya. Oeteksi yang biasa dilakukan
untuk mengetahui adanya infeksi virus adalah dengan penanda serologi. Pada
infeksi HCV, diagnosis didasarkan pada adanya anti HCV dalam serum darah,
menggunakan teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) yang dapat
dilanjutkan dengan teknik RIBA (Recombinant Immunoblot Assay) untuk
meningkatkan spesifikasi. Cara deteksi yang lebih sensitif clan spesifik adalah
dengan mendeteksi RN A HCV dengan teknik RT -PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction). Metode ini sangat penting terutama pada window
period, peri ode dimana telah terjadi infeksi HCV tetapi antibodi belum
terbentuk/terdeteksi.
Oleh karenanya PCR merupakan metode
diagnostik standar untuk infeksi HCV kronik maupun akut misalnya pada pasien
yang immunosupressed seperti resipien transplantasi ginjal.
2.
Rumusan masalah
Bagaimana cara
deteksi Hepatitis C (HCV) dengan menggunakan metode PCR ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi berantai polimerase atau lebih
umum dikenal sebagai PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu teknik
atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan
organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan
waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan
DNA. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh
hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak
dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan
hanya memerlukan jumlah sampel yang kecil. Polymerase Chain Reaction (PCR),
merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida secara
in vitro. Metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan DNA ribuan bahkan jutaan
kali dari jumlah semula. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan
menjadi dua kali jumlahnya. Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan
bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan meminimalkan
amplifikasi urutan non-target.
Pada dasarnya reaksi PCR adalah tiruan
dari proses replikasi DNA in vivo, yaitu dengan adanya pembukaan rantai DNA
(denaturasi) utas ganda, penempelan primer (annealing) dan perpanjangan rantai
DNA baru (extension) oleh DNA polimerase dari arah terminal 5’ ke 3’. Hanya
saja pada teknik PCR tidak menggunakan enzim ligase dan primer RNA. Secara
singkat, teknik PCR dilakukan dengan cara mencampurkan sampel DNA dengan primer
oligonukleotida, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), enzim termostabil Taq
DNA polimerase dalam larutan DNA yang sesuai, kemudian menaikkan dan menurunkan
suhu campuran secara berulang beberapa puluh siklus sampai diperoleh jumlah
sekuens DNA yang diinginkan.
Menurut Erlich (1989) PCR adalah suatu
metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens tertentu DNA dengan
menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang
berlawanan dan mengapit dua target DNA. Kesederhanaan dan tingginya tingkat
kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini
semakin luas penggunaannya.
PCR didasarkan pada amplifikasi
enzimatik fragmen DNA dengan menggunakan dua oligonukleotida primer yaitu
komplementer dengan ujung 5’dari dua untaian skuen target. Oligonukleotida ini
digunakan sebagai primer (primer PCR) untuk memungkikan DNA template dikopi
oleh DNA polimerase. Untuk mendukung terjadinya annealing primer ini pada
template pertama kali diperlukan untuk memisahkan untaian DNA substrat melalui
pemanasan.
Hampir semua aplikasi PCR mempekerjakan
DNA polimerase yang stabil terhadap panas, seperti polimerase Taq.
Awalnya enzim diisolasi dari bakteri Aquaticus Thermus. DNA polimerase
enzimatis ini merakit sebuah untai DNA baru dari pembangunan blok DNA,
nukleotida , dengan menggunakan DNA beruntai tunggal sebagai template dan
oligonukleotida DNA (juga disebut primer DNA ), yang dibutuhkan untuk inisiasi
sintesis DNA. Sebagian besar metode PCR menggunakan siklus termal , yaitu, bergantian
pemanasan dan pendinginan sampel PCR untuk serangkaian langkah pasti suhu.
Langkah-langkah siklus termal yang
diperlukan pertama yang secara fisik memisahkan dua helai dalam heliks ganda
DNA pada suhu tinggi dalam proses yang disebut DNA leleh . Pada suhu yang lebih
rendah, masing-masing untai kemudian digunakan sebagai template dalam sintesis
DNA oleh polimerase DNA untuk selektif memperkuat DNA target. Selektivitas
hasil PCR dari penggunaan primer yang komplementer ke wilayah yang ditargetkan
untuk amplifikasi DNA di bawah kondisi spesifik siklus termal.
B.
Defensisi Hepatitis
Hepatitis adalah kelainan hati berupa
peradangan (sel) hati. Peradangan ini ditandai dengan meningakatan kadar enzim
hati. Peningkatan ini disebabkan adanya gangguan atau kerusakan membran hati.
Ada dua faktor penyebabnya yaitu faktor infeksi dan faktor non infeksi. Faktor
penyebab infeksi antara lain virus hepatitis dan bakteri. Selain karena virus
Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih banyak virus lain yang berpotensi
menyebabkan hepatitis misalnya adenoviruses , CMV , Herpes simplex , HIV,
rubella,varicella dan lain-lain. Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis
antara lain misalnya bakteri Salmonella typhi, Salmonella paratyphi ,
tuberkulosis , leptosvera. Faktor noninfeksi misalnya karena obat. Obet
tertentu dapat mengganggu fungsi hati dan menyebabkan hepatitis
(Dalimartha,2008).
Penyebab penyakit adalah virus hepatitis
C (HCV) yang merupakan virus RNA dengan amplop, diklasifikasikan ke dalam genus
berbeda (Hepacavirus) dari famili Flaviviridae. Paling sedikit ada 6 genotipe
yang berbeda dan lebih dari 90 subtipe HCV yang diketahui saat ini. Gejala
penyakit ini umumnya insidious,bisa disertai anoreksida, gangguan abdominal
tidak jelas, mual dan muntah-muntah, berlanjut menjadi icterus (jaundience)
lebih jarang jika dibandingkan dengan Hepatitis B.
Meskipun infeksi pertama mungkin
asimtomatis (lebih dari 90% kasus) atau ringan, namun sebagian besar (diantara
50%-80% kasus) akan menjadi kronis. Pada orang yang mengalamin infeksi kronis,
sekitar separuh dapat berkembang menjadi cirrhosis atau kanker hati. Hepatitis
jenis ini tersebar diseluruh dunia. Prevelnsi HCV berhubungan langsung dengan
prevelansi orang yang menggunakan jarum suntik bersama dikalangan pecandu obat
terlarang dan prevelensi kebiasaan
menggunakan alat suntik yang tidak steril ditempat pelayanan kesehatan.
Menurut WHO pada akhir tahun 1990an
diperkirakan 1% penduduk dunia terinveksi HCV. Di Eropa dan Amerika Utara
prevelensi hepatitis C sekitar 0,5% sampai 2,4%. Sedangkan dibeberapa tempat
seperti di Afrika prevalensinya mencapai 4%. Hampir 1,5 juta orang terinfeksi
oleh HCV di Eropa dan sekitar 4 juta orang di Afrika. Tes antibodi HCV
mendiagnosis inveksi HCV mulai dari tes antibodi. Antibodi terhadap HCV biasanya
terdeteksi setelah 6-7 minggu setelah virus tersebut masuk kedalam tubuh,
walaupun kadang kala untuk beberapa orang dibutuhkan tiga bulan aatu lebih.
Bila tes antibodi HCV positif, tes ulang biasanya untuk konfirmasi. Tes
konfirmasi ini dapat tes antibodi lain atau tes PCR. Bila tes positif untuk
antibodi HCV, ini berarti pernah terkena virus tersebut pada suatu waktu.
Karena kurang lebih 20% orang yang terinfeksi HCV sembuh tanpa memakai obat
biasanya setelah 6 bulan setelah terinfeksi. Untuk mencari HCV dokter akan
menerima tes PCR kualitatif untuk menentukan adanya virus hepatitis C di dalam
tubuh seseorang.
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin
sangatlah penting. Meskipun tubuh anda telah melakukan perlawanan terhadap
infeksi, tetapi hanya 15% yang berhasil, pengobatan tetap diperlukan untuk
mencegah Hepatitis C kronis dan membantu mengurangi kemungkinan hati menjadi
rusak. Kadangkala, pengobatan Hepatitis C memerlukan waktu yang lama, dan tidak
dapat membantu. Tetapi karena penyakit ini dapat menjadi parah sepanjang waktu,
sangatlah penting untuk mencari pengobatan yang tepat dari dokter anda.
Diagnosis dan pengobatan awal sangatlah mendesak dan penting. Persentase yang
signifikan dari orang yang melakukannya dapat sembuh dari Hepatitis C dan
menunjukan perbaikan hatinya.
Tujuan pengobatan dari Hepatitis C
adalah menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah
perkembangan yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati. Kebanyakan bentuk
interferon alfa hanya dapat bertahan satu hari tetapi dapat dimodifikasi
melalui proses pegilasi untuk membuatnya bertahan lebih lama. Meskipun
interferon alfa dapat digunakan sebagai obat Hepatitis C tunggal termasuk
pegylated interferon, penelitian menunjukkan lebih efektif bila dikombinasi
dengan anti virus ribavirin.
a.
Interferon alfa
Adalah
suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk meningkatkan
sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya. Obat yang
direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah dari inteferon alfa
bisa dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
b.
Pegylated
interferon alfa
Dibuat
dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut "polyethylene
glycol (PEG)" dengan molekul interferon alfa. Modifikasi interferon alfa
ini lebih lama ada dalam tubuh, dan penelitian menunjukkan lebih efektif dalam
membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis
dibandingkan interferon alfa biasa.
c.
Ribavirin
Adalah
obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan
Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus
Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada
inteferon alfa sendiri. Pengobatan ini telah diterima berdasarkan kemampuannya
dalam menghasilkan respon melawan virus pada penderita penyakit Hepatitis C
kronis. Penderita dikatakan memiliki respon melawan virus jika jumlah virus
Hepatitis C begitu rendah sehingga tidak terdeteksi pada tes standar RNA virus
Hepatitis C dan jika level tersebut tetap tidak terdeteksi selama lebih dari 6
bulan setelah pengobatan selesai. Pengobatan HCV biasanya berjalan selama 3-12
bulan. Tujuan pengobatan HCV adalah untuk memberantas virus, dan tetap bebas
virus selama enam bulan setelah pengobatan selesai. Hal ini disebut tanggapan
virologi tetap (sustained virological response / SVR), atau “penyembuhan”.
Setelah pengobatan, kurang lebih 45% pasien dengan HCV genotipe 1 dan 80%
pasien dengan genotipe 2 atau 3 mencapai SVR.
BAB III
METODE PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Metode
Penelitian
Ekstraksi RNA HCV daTi Serum Darah. Serum darah yang
digunakan berjumlah 50 terdiri dari 25 serum darah dari laboratorium rumah
sakit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCMj yang telah dideteksi dengan basil
RNA positif secara kuantitatif. Dua puluh lima serum darah yang lain berasal
dari laboratorium Palang Merah Indonesia terdiri dari 20 serum positif clan 5
serum negatif HCV berdasarkan basil deteksi secara serologi menggunakan teknik
ELISA.
Metode yang digunakan untuk ekstraksi RNA serum tersebut di
at as adalah metode BOOM menggunakan bUreT lisis yang terdiri dari larutan
guanidin tiosianat, Tris -HCI, EDTA clan triton X 100 (bufer lisis L6 clan
bUreT pencuci L2j. Sampel darah ditambah dengan bUreT lisis L6 clan larutan diatom
kemudian divorteks, digoyang clan diinkubasi kemudian disentrifugasi 12.000
rpm. Selanjutnya dicuci dengan bUreT pencuci L2 clan diendapkan dengan etanol
70% clan aseton. Pelet dikeringkan dalam waterbath pada suhu 56°C 10 menit,
kemudian ditambah larutan TE, divortex clan diinkubasi pada suhu clan waktu
yang sarna, kemudian disentrifugasi pada 12.000 rpm. Supernatan yang mengandung
RNA HCV dipisahkan yang selanjutnya akan digunakan pada proses reverse
transkripsi untuk pembuatan cDNA. Proses Reverse Transkripsi.
RNA yang diperoleh diinkubasi pada 56°C selama 10 menit lalu
secepatnya dimasukkan ke dalam es. Dari larutan tersebut diatas diambil 5~1
dimasukkan ke dalam 20 ~l campuran pereaksi untuk proses reverse transkripsi
yang terdiri daTi Ix larutan bufer, 200 unit Moloney Murine Leukemia Virus
Reverse Transcriptase (MMLV-R7'), 30 unit RNA se inhibitor, 80 pmol random
primer, 0.5 mM masing-masing dNTP, 10 mM larutan ditiothreitol clan air DEPC.
Sintesis cDNA dilakukan dengan menginkubasi campuran tersebut di atas pada suhu
3~C selama satu jam clan kemudian dipanaskan pada air mendidih selama satu
menit. Proses Amplifikasi DNA. Proses Amplifikasi dilakukan dengan metode
nested PCR menggunakan 2 pasang primer yang didesain dari 5' Non Coding Region
(NCR). Campuran pereaksi PCR pertama terdiri daTi 5 ~l larutan cDNA, 50 pmol
masing-msing primer dengan sekwens yang telah dipublikasi oleh HOUGHTON yang
dikutip oleh WIDJAJA (7) (5' CCACCATAGATCTCTCCCCTGT) clan (5' ATACTCGAGGT
GCACGGTCTACGA), 0.2 mM masing-masing dNTP, 3 unit Taq polymerase, Ix bufer PCR
, 2,5 mM MgClz clan 0,01 % gelatin. Jumlah siklus yang dipakai adalah 35 siklus
dengan tahap denaturasi 96°C 30 detik, annealing 48°C 45 detik, extension noc
60 detik clan extended extension noc 6 menit. Proses PCR yang kedua dilakukan
dengan mencampur 2 ~l basil PCR yang pertama dengan campuran pereaksi seperti
pada proses PCR pertama. Primer oligonukleotida yang digunakan
(5'AGATCTrCACGAAGAAAAGCGT) clan (5'CACTCTCGAGCACCCT A TCAGGCAGT).
Jumlah siklus yang dipakai 30 siklus dengan kondisi PCR
sarna dengan proses PCR pertama. Deteksi DNA Hasil Amplifikasi. Fragmen DNA
basil proses PCR setelah ditambah dengan loading bufer dianalisis dengan teknik
elektroforesis gel agarosa dengan konsentrasi agarosa sebesar 1,5% (b/v).
Proses elektroforesis dilakukan dalam bufer TBE (Tris-Borat-EDTAj dengan
voltase konstan (100 V). Visualisasi DNA yang telah dielektroforesis, dilakukan
dengan mewarnai gel dengan larutan etidium bromida clan memaparkan gel di bawah
UV transilluminator. Penentuan ukuran berat molekul fragmen DNA basil
amplifikasi dilakukan dengan menggunakan penanda berat molekul.
2.
Hasil dan
Pembahasan
Hasil proses PCR clan deteksinya menggunakan elektroforesis
gel agarosa (PCR kualitatif), menunjukkan hanya 5 sampel yang positif HCV dari
25 serum darah yang diperoleh dari laboratorium RSCM. Sampel terse but telah
dideteksi sebelumnya dengan basil RNA HCV positif secara kuantitatif
menggunakan kit komersial. Hal ini mungkin disebabkan proses ekstraksi RNA,
primer oligonukleotida clan cara deteksi produk PCR yang digunakan laboratorium
terse but sensitivitasnya lebih tinggi daripada yang digunakan dalam penelitian
ini.
CHA e.t aI. menyatakan banyak faktor berperan dalam proses
RT-PCR, seperti misalnya integritas RNA selama proses isolasi/ekstraksi
tergantung pada efisiensi inhibitor RNAse dalam sampel serum. Faktor lain yang
lebih penting adalah desain primer sangat mempengaruhi efisiensi proses
amplifikasi PCR. Dalam penelitiannya dinyatakan beberapa sampel serum yang positif
HCV dengan menggunakan primer yang dirancang dari daerah 5-UT hasilnya negatif
dengan pasangan primer lain. Menurut HOSODA, yang mengemukakan juga bahwa
seleksi lokasi primer sangat penting untuk deteksi HCV dengan PCR Berdasarkan
basil penelitiannya menggunakan primer dari nonstructural region genom HCV
untuk proses PCR, RNA HCV yang terdeteksi pacta pasien dengan DonA nonB
hepatitis kronik hanya 60%, sedangkan dengan menggunakan primer dari noncoding
region, RNA HCV yang terdeteksi -95%. Kemungkinan lain dari basil terse but di
atas, sampel serum tersebut telah lama disimpan dalam suhu atau temp at yang
tidak sesuai sehingga mempengaruhi virus di dalamnya terutama RNA virus. Dalam
uji RTPCR secara kualitatif seperti yang digunakan dalam penelitian ini, hal
penting yang perlu diperhatikan adalah penyimpanan spesimen , penanganan
spesimen, dan inhibitor dalam proses PCR Dari 20 sampel serum yang diperoleh
dari laboratorium PMI dengan anti HCV positif secara serologi menggunakan
teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) menunjukkan hanya 7 sampel
yang positif HCV dengan teknik yang digunakan dalam penelitian ini.
Untuk kasus seperti ini dapat berarti adanya suatu infeksi
di masa lamp au atau kemungkinan adanya intermitten virenia daD juga karena
adanya pola awal viremia yang terlambat. juga menunjukkan basil positif HCV
untuk 1 sampel dengan metode PCR kualitatif yang dilakukan dalam penelitian
ini. Sampel tersebut adalah salah satu sampel diantara 5 buah sampel serum yang
negatif HCV secara serologi digunakan sebagai pembanding yang berasal dari
laboratorium PMI.
DAFTAR PUSTAKA
1.
CHOO, Q.L., KUO, G., WEINER, A.J., OVERBY, L.R., BRADLEY,
D.W., and HOUGHTON, M. Isolation of cDNA clone derived from a blood borne non
A, non B viral hepatitis genome. Science 2.4.4 359 -362 (19891. 2.
2.
KUO, G., CHOO, Q.L., ALTER, H.J., GITNICK, G.L., REDEKER,
A.G. PURCELL, R.H., MIY AMURA, T., DIENSTAG, J.L., ALTER, M.J., STEVEN, C.E.,
TEGTMEIER, G.E., BONINO, F., COLOMBO, M., LEE, W.S., KUO, C., BERGER, K.,
SHUSTER, J.R., OVERBY, L.R., BRADLEY, D.W., and HOUGHTON, M. An assay for
circulating antibodies to a major etiologic virus of human non A, non B
hepatitis. Science M.4. 362364 (1989).
3.
Van der POEL, C.I., CUYPERS, H.T., and REESINK, H. W.
Hepatitis C six years on. The Lancet ~ 1475 -1479 (19941. 4. HOUGHTON, M.
Hepatitis C virus. In Fields Virologi vol. 1. Fields, B.N., Knipe, D.M., Howley,
P.M., Chanock, R.M., Melnick, J.L., and Straus, S.E. /eds.I, 3 rd edition,
Lippincott-Raven
4.
Publisher, Philadelphia -New York /19961. 5. DALIMARTHA,
S. Ramuan tradisional untuk pengobatan hepatitis. Penerbit P. T. Penebar
Swadaya, edisi ke dua, Jakarta
5.
(19981 6. WILBER, J.C., JOHNSON, P.J., and URDEA, M.S.
Reverse Transcriptase- PCR for hepatitis C virus RNA. In Diagnostic Molecular
Microbiology. Principles and Applications. Persing, D.H., Smith, T.F., Tenover,
F.C., and White, T.J. (eds.I, American Society for Microbiology, Washington
D.C. (19931.
6.
WIDJAJA, S. Epidemiology of hepatitis B and hepatitis C
virus infection in an urban area in Jakarta, Indonesia: A hospital and
population based study. Thesis for the degree of Doctor in de Medische Wetenschappen,
Leuven /19961.
7.
BRUIX, J., BARRERA, J.M., CALVET, X., COSTA, J., VENTURA,
M., BRUGUERA, M., CASTILLO, R., ERCILLA, G., SANCHEZ-TAPIAS, J., VALL, M., BRU,
C., and RODES, J. Prevalence of antibodies to hepatitis C virus in Spanish
patients with hepatocellular carcinoma and hepatic cirrhosis. Lancet ii
10041006 (19891.
8.
BUDIHUSODO, U., SULAIMAN, H.A., AKBAR, H.N.-.eLal
Seroepidemiology of HBVand HCV infection in Jakarta, Indonesia. Gastroenterology
26 196201 (19911.
9.
PEREIRA, B.J.G., MILFORD, E.L., KIRKMAN, R.L., and LEVEY,
A.S. Transmission of hepatitis C virus by organ transplantation. The New
England Journal of Medicine 325 7 454 -460 /19911. 11. POTERUCHA, J.J., RAKE LA
, J., LUM,ENG, L., LEE, C.H., TASWELL, H.F., and WIESNER, R.H. Diagnosis of chronic
hepatitis C after liver transplantation by the detection of viral sequences
with polymerase chain reaction. Hepatology 15 142 -45 /19921.
10. CONRAD, E.U.,
GRETCH, D.R., OBERMEYER, K.R., MOOGK,M.S., SAYERS, M., WILSON, J.J., and
STRONG, D.M. Transmission of hepatitis C virus by tissue transplantation. The
Journal of Bone and Joint Surgery. ZZ:A 2 214 -224 (1995).
11. NAZLY HILMY.
Perkembangan bank jaringan di Indonesia. Bulletin Batan (1999).
12. LUSIDA, I.,
SOEMARTO, dan SOETJIPTO. Reaksi rantai polimerase untuk diagnosis virus
hepatitis C.. Medika 2 127 -129 (1997).
13. HOSODA, K.,
OMATA, M., YOKOSUKA, 0., KATO, N., and OHTO, M. Non A, Non B chronic hepatitis
is chronic hepatitis C: A sensitive assay for detection of hepatitis C virus
RNA in liver. Hepatologi. 15 5 777 -781 (1992).
14. HU, K.Q., YU,
C.H., and VIERLING, J.M. One step RNA polymerase chain reaction for detection
of hepatitis C virus RNA. Hepatology.~ 270-274 (1993) 17. CHA, T.A., BEALL, E.,
IRVINE, B., KOLBERG, J., CHIEN, D., KUO, G., and URDEA, M.S. At least five
related, but distinct, hepatitis C viral genotypes Exist.Proc. Natl. Acad. Sci.
USA. 89 7144 -7148 (1992).
15. SIMON, S.
Diagnostic tests for hepatitis C. Seminar Nasional : Quality Assurance
Programme for Molecular-Based Diagnostis of Hepatitis C and Tuberculosis.
Catholic University of Atma Jaya, 19 Juni 2003, di Jakarta.
16. GARSON, J.A.,
TUKE, P.W., MAKRIS, M., BRIGGS, M., MACHIN, S.J., PRESTON, F.E., and TEDDER,
R.S. Demonstration of viraemia patterns in haemophiliacs treated with hepatitis
C viruscontaminated factor VIII concentrates. The Lancet 21. 1022 -1025 (1990).
17. BHANDARI, B.N.,
and WRIGHT, T.L. Hepatitis C : An overview. Annu. Rev. Med. .46-309 -317
(1995).
18. ZANETTI, A.R.,
TANZI, E., ZEHENDER, G., MAGNI, E., INCARBONE, C., ZONARO, A., PRIMI, A.,
CARIANI, E. Hepatitis C virus RNA in Symptomless donors implicated in
post-transfusion non A, non B hepatitis. The Lancet. 448 -449 August 18 (1990).
LAMPIRAN KASUS
Sebagian Besar Kematian Akibat Hepatitis Virus
Berhubungan dengan Hepatitis B dan C Kronis
Sebagian besar orang yang telah terinfeksi virus
Hepatitis B kronis (HBV) atau virus Hepatitis C (HCV) akan membutuhkan
pengobatan di suatu waktu dalam periode hidup mereka. Kebutuhan ini menjadi
mendesak bagi mereka yang telah memiliki kerusakan hati dan berisiko tinggi
mengalami komplikasi bahkan kematian dini.
Sebagian besar morbiditas dan mortalitas akibat
Hepatitis virus berhubungan dengan Hepatitis B dan Hepatitis C yang kronis,
ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dr. H.
Mohamad Subuh, MPPM, pada pembukaan Workshop on Developing The
Regional Action Plan For Hepatitis di Jakarta, Selasa (26/4), Beban Penyakit Hepatitis Virus di
Asia Tenggara dan Indonesia
Hepatitis adalah peradangan pada organ hati yang
disebabkan oleh berbagai sebab, seperti bakteri, virus, proses autoimun,
obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya lainnya. Infeksi (virus,
bakteri, dan parasit) menjadi penyebab umum Hepatitis, dan infeksi karena virus
Hepatitis A, B, C, D atau E merupakan yang terbanyak, di samping infeksi virus
lainnya, seperti mononucleosis infeksiosa, demam kuning, atau sitomegalovirus.
Hepatitis yang disebabkan infeksi virus bisa disebut juga Hepatitis viral.
Di wilayah Asia Tenggara diperkirakan 100 juta
orang hidup dengan Hepatitis B kronis dan 30 juta orang hidup dengan hepatitis
C kronis. Setiap tahun di wilayah tersebut, Hepatitis ,B menyebabkan hampir 1,4
juta kasus baru dan 300.000 kematian. Sementara, Hepatitis C menyebabkan
sekitar 500.000 kasus baru dan 160.000 kematian.
Prevalensi Hepatitis B kronis adalah sekitar 8%
di Democratic People's Republic of Korea, Myanmar
Thailand, dan Indonesia, sedangkan prevalensi di Timor-Leste diperkirakan pada
6 -7%. Sementara itu, terdapat negara tertentu di kawasan Asia Tenggara yang
memiliki sejumlah besar kasus Hepatitis virus. India misalnya, memiliki hampir
40 juta orang dengan infeksi HBV kronis dan 12 juta orang terinfeksi dengan HCV
kronis. Selain itu, sekitar 65% dan 75% dari orang-orang dengan HBV kronis dan
infeksi HCV, masing-masing tidak menyadari status mereka. Wilayah ini juga
memiliki kasus besar Hepatitis A dan E, yang mana lebih dari 50% beban
Hepatitis E global ada dalam wilayah ini.
Sementara itu di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas, 2013) menemukan bahwa prevalensi HBsAg adalah 7,2%. Angka ini lebih
rendah bila dibandingkan dengan data tahun 2007, yaitu 9,4% pada populasi umum.
Diperkirakan 18 juta orang memiliki Hepatitis B dan 3 juta orang menderita
Hepatitis C. Sekitar 50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang
berpotensi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat
menyebabkan kanker hati. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 1.050.000 pasien
memiliki potensi untuk menjadi kanker hati. Untuk itu, surveilans Hepatitis B
dan Hepatitis C telah dilakukan di kalangan penduduk berisiko tinggi.
Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia Guna mengendalikan virus
hepatitis, Kementerian Kesehatan RI memiliki 5 aksi utama, yaitu: 1)
Peningkatan kesadaran, kemitraan dan mobilisasi sumberdaya; 2) Pengembangan
Surveilans Hepatitis untuk mendapatkan data sebagai dasar untuk penyusunan
respons penanggulangan; 3) Memperkuat hukum dan peraturan; 4) Upaya pencegahan
secara komprehensif; dan 5) Deteksi dini, dan tindak lanjutnya yang mencakup
akses Perawatan, dukungan dan Pengobatan.
Untuk memperkuat program pengendalian Hepatitis,
sedang dilakukan beberapa upaya, diantaranya: 1) Meningkatkan advokasi, teknis,
dan pengetahuan umum tentang Hepatitis virus kepada anggota masyarakat,
penyedia layanan kesehatan dan stakeholder; 2) Mendorong Dinas Kesehatan untuk
mengembangkan rencana strategis tingkat provinsi; 3) Memperluas akses
masyarakat terhadap perawatan, dukungan dan pengobatan; 4) Mengintegrasikan
upaya kesehatan yang berhubungan dengan Hepatitis virus, HIV AIDS, serta
kesehatan ibu dan anak; 5) Mengintegrasikan upaya kesehatan masyarakat yang
baik melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas kerja; 6) Memperbaiki
strategi nasional pengendalian Hepatitis; dan 7) Memperbaiki pedoman.
Diharapkan dengan upaya pencegahan dan
pengendalian Hepatitis di Indonesia tersebut, akan tercapai Eliminasi Penularan
Hepatitis B, bersama dengan HIV dan Sifilis dari ibu ke anak Tahun 2020;
sedangkan Eliminasi Hepatitis C diharapkan dapat tercapai pada tahun
2030.
Strategi menuju Eliminasi Penularan Hepatitis B
dari ibu ke anak 2020 melalui: 1) Peningkatan cakupan imunisasi pada bayi
baru lahir < dari 24 jam dari saat kelahirannya, 2) Deteksi Dini
Hepatitis B pada ibu hamil dan kelompok berisiko tinggi lainnya, masing-masing
dengan cakupan paling tidak 90%.
Sedangkan Strategi untuk mencapai Eliminasi
Hepatitis C Tahun 2030: 1) Tatalaksana kasus Hepatitis C dengan pemilihan jenis
obat yang tingkat kesembuhan diatas 90%, efek samping relatif rendah,
dan harga yang terjangkau, 2) Deteksi dini penemuan kasus secara
aktif , masing-masing cakupan paling tidak 90%.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut
dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode
lokal) 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan
alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.