BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Epistaksis
atau yang sering disebut mimisan adalah suatu perdarahan yang terjadi di rongga
hidung yang dapat terjadi akibat kelainan lokal pada rongga hidung ataupun
karena kelainan yang terjadi di tempat lain dalam tubuh. Bagian dalam hidung
yang dilapisi oleh selaput lendir yang selalu basah banyak mengandung jalinan
pembuluh darah, di bagian depan jalinan pembuluh darah disebut pleksus
kiesselbach yang bila pembuluh darah ini pecah maka terlihat mimisan.
Epistaksis
atau mimisan biasanya di alami oleh anak usia TK-SD, merupakan kejadian yang
dapat disebabkan oleh pembuluh darah yang masih tipis dan peka karena suatu
benturan atau trauma akibat mengkorek-korek hidung, bersin yang terlalu kuat,
perubahan cuaca yang ekstrim (panas, kering) dan tekanan udara juga dapat
sebagai pemicu terjadinya mimisan yang dapat terjadi secara sepontan. Faktor lain berupa trauma eksterna karena suatu
benturan ataupun mencium bahan kimia (seperti asam sulfat, bensin, amonia),
mukosa hidung yang kering, masuknya benda asing di rongga hidung, defisiensi
vitamin, infeksi akut (berlangsung singkat) atau infeksi kronis (berlangsung lama)
yang terjadi pada hidung.
Epistaksis
atau mimisan dibagi atas dua kelompok yaitu : Epistaksis anterior yaitu
perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian
depan yaitu dari pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior, dan epistaksis
posterior yaitu perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam yaitu
dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.
Epistaksis
itu sendiri bukanlah penyakit tetapi suatu gejala dari adanya kelainan sehingga
pada saat anak dengan kondisi mimisan dan terjadi perdarahan di hidung mungkin
reaksi pertama orang lain yang melihatnya adalah panic dikarenakan perdarahan
yang keluar dari hidung baik dari satu lubang hidung maupun dari kedua lubang
hidung penderita. Namun dengan penanganan yang tepat perdarahan yang terjadi
dapat segera teratasi
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
Epistaksis
atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.Puncak kejadian
dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10
>50 tahun. Epistaksis yaitu
perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan
posterior. Epistaksis adalah
perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum
(kelainan sistemik). Epistaksis
dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan
berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari
rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina. Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung.Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat.
2.
KLASIFIKASI
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior
rongga hidung.
Ø Epistaksis
Anterior (Mimisan Depan)
Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian
depan, maka disebut 'mimisan depan' (=epistaksis anterior). Lebih dari 90%
mimisan merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih sering mengenai
anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan pembuluh darah hidung belum
terlalu kuat.
Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat
lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang sekali
perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan, kecuali jika korban
dalam posisi telentang atau tengadah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber pedarahan.
Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding samping rongga
hidung.
Mimisan
depan akibat :
1.
Mengorek-ngorek hidung
2.
Terlalu lama menghirup udara kering, misalnya pada ketinggian atau
ruangan berAC
3.
Terlalu lama terpapar sinar matahari
4.
Pilek atau sinusitis
5.
Membuang ingus terlalu kuat
Ø Epistaksis
Posterior (Mimisan Belakang)
Mimisan belakang (=epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan
pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang jarang
terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan mengenai
orang dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga mengenai anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang
mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.
Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan
kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan muntah berisi
darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada yang keluar melalui
lubang hidung.
Beberapa
penyebab mimisan belakang :
1.
Hipertensi
2.
Demam berdarah
3.
Tumor ganas hidung atau nasofaring
4.
Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia dll.
5.
Kekurangan vitamin C dan K.
6.
Dan lain-lain
3.
ETIOLOGI
Epistaksis
dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat,
bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan
lalulintas. Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang
merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus,
sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat
terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.
Tiwari
(2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak
biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada
arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause,
kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam
berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan
kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-OslerWeber disease.
Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat
perubahan tekanan atmosfer.
4.
PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan
arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat
perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai
perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di
lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis
dan lemah.
Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis
dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu: Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis
yang paling sering dijumpai
terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada
lokasi ini bersumber
dari pleksus Kiesselbach (little
area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior
tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal
dari bagian depan konkha inferior.
Mukosa
pada daerah ini sangat rapuh dan melekat
erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah
ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau
kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan . Epistaksis posterior Epistaksis
posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler.
Thornton
(2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
5.
DIAGNOSI
Anamnesis
dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus
segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil
hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan
dari bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis,
fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa factor pembekuan
darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala,
hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.
6.
PENGOBATAN
DAN PENATALAKSANAAN
Tiga
prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.2 Pasien yang datang
dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila
sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat
penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan
tampon kapas yang
telah dibasahi dengan
adrenalin 1: 10.000 dan lidokain
atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan
dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini
dibiarkan selama 3 - 5 menit.
Dengan
cara ini
dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian
anterior atau posterior.2 Pada
penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah
harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera
diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan
pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT),
sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.
Bila
terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian
transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.
A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal
dengan menggunakan tampon kapas yang
telah dibasahi dengan kombinasi
lidokain 4% topikal
dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4%
topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini
dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk
memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.5 Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan
dengan menggunakan larutan perak nitrat
20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.
Becker (1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 –
70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber
perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna
kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan
pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan
elektrokauter atau laser.5 Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus
epistaksis yang ditelitinya.
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber
perdarahan tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon
anterior dengan menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau
salap antibiotik.2,10 Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada
pasien diberikan antibiotik spektrum luas.12
Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s nose clip untuk penanggulangan epistaksis
anterior.
B.
Epistaksis
Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab
biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi
anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon
posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.
1.
Tampon
Posterior
Prosedur ini
menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan
anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan
terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring.
Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali
diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan
tiga pita (band). Masukkan kateter karet
kecil melalui hidung kedalam faring,
kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat
diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali
melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui
nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan
mempermudah tindakan ini.
Apabila
masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior
kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya
tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga
mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2 – 3 hari.
2.
Tampon Balon
Pemakaian
tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon
posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis
posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon
yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan,
tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan
vasokonstriktor.
Kateter
Foley no. 12 - 16 F diletakkan
disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon
diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah
anterior sehingga balon menutup rongga
hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa
sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon
anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada
cuping hidung. Apabila tampon balon ini
gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
3.
Ligasi
Arteri
Penanganan
yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan
segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang
tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi
arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.
a. Ligasi
Arteri Karotis Eksterna Ligasi
biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis
eksterna.12 Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi
horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir
anterior m. sternokleidomastoideus.
Setelah flap
subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke
posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan
identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan.
Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama
apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri
karotis eksterna diligasi dengan benang
3/0 silk atau linen.3
b. Ligasi
Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu
dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah
dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan
menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan
medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada
tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan
observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan
lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan
hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan
nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi
dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat
nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama
24 jam.
Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane
of buccinator dimasuki melalui insisi
gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan m.
temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah
ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit
atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat
dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini
adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan
transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah
pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan.10 Shah (2005) menggunakan clip titanium pada
arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.
c.
Ligasi
Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling
baik diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau
keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis
anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis
anterior berada kira-kira 1,5 cm
posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada
hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus.
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini.
Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus
lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada
lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior,
dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis
posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.
Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma.
Angiografi dan Embolisasi Sokoloff (1974) pertama kali
memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a. maksilaris interna dengan
menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa
laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan sumber
perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan
telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma
nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan
dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis
tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a.
maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri.
Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada
wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk
embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering
digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa
embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan
apabila ada kontraindikasi untuk operasi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Epistaksis
atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.Puncak kejadian
dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10
>50 tahun. Epistaksis yaitu
perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan
posterior. Epistaksis adalah
perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum
(kelainan sistemik). Epistaksis
dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang).
DAFTAR PUSTAKA
1. Abelson TI.
Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease AproblemOriented
Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9. 2.
2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan
gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
telinga. hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998:
127 – 31.
3. Watkinson
JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS,
Bull TR.
Scott – Brown’s Otolaryngology.
Volume 4
4. (Rhinonology).
Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19. 4. Ballenger JJ. Penyakit
telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli bagian THT
FK UI.
Jilid 1. Edisi 13. Jakarta,
Binarupa Aksara,1994: 1 – 27, 112 – 6. 5.
5. Becker W,
Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat
disease, a pocket reference. Second Edition. New York, Thieme
Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80
dan 253 – 60. 6.
6. Thornton MA,
Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common bleeding
sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90. 7.
7. Thuesen AD,
Jacobsen J, NepperRasmussen J. Juvenile angofobroma. Ugeskr Leager. 2005. Vol.
167 (34): 3163 – 6. 8.
8. Tiwari D,
Plater M, Partridge R, WestonSimons J. Primary malignan melanoma of nose: a
rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol. 34 (6): 653 –
4. 9.
9. Sys L, van
den Hoogen FJ. Rendu-OslerWeber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd. 2005. Vol.
112 (9): 336 – 9. 10. Abelson TI. Epistaxis. Dalam:
Paparella
MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd.
1Philadelphia:
WB Saunders Company, 1997: 1831 – 41.
11. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable
epistaxis and bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5):
360 – 2. 12.
1 Adam GL,
Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar
penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W. Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku
kedokteran, 1993: 224 – 37. 13.
1 Vaghela HM.
Using a swimmer’s nose clip in the treatment of epistaksis in the A&E
departement. Accing Emerg Nurs, 2005, Vol. 13 (4): 261 – 3.