Yazhid Blog

.

Senin, 20 Februari 2017

MAKALAH EPISTAKSIS (MIMISAN)


BAB I
PENDAHULUAN

   A.     Latar Belakang
Epistaksis atau yang sering disebut mimisan adalah suatu perdarahan yang terjadi di rongga hidung yang dapat terjadi akibat kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dalam tubuh. Bagian dalam hidung yang dilapisi oleh selaput lendir yang selalu basah banyak mengandung jalinan pembuluh darah, di bagian depan jalinan pembuluh darah disebut pleksus kiesselbach yang bila pembuluh darah ini pecah maka terlihat mimisan.
Epistaksis atau mimisan biasanya di alami oleh anak usia TK-SD, merupakan kejadian yang dapat disebabkan oleh pembuluh darah yang masih tipis dan peka karena suatu benturan atau trauma akibat mengkorek-korek hidung, bersin yang terlalu kuat, perubahan cuaca yang ekstrim (panas, kering) dan tekanan udara juga dapat sebagai pemicu terjadinya mimisan yang dapat terjadi  secara sepontan.  Faktor lain berupa trauma eksterna karena suatu benturan ataupun mencium bahan kimia (seperti asam sulfat, bensin, amonia), mukosa hidung yang kering, masuknya benda asing di rongga hidung, defisiensi vitamin, infeksi akut (berlangsung singkat) atau infeksi kronis (berlangsung lama) yang terjadi pada hidung.
Epistaksis atau mimisan dibagi atas dua kelompok yaitu : Epistaksis anterior yaitu perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian depan yaitu dari pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior, dan epistaksis posterior yaitu perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam yaitu dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.
Epistaksis itu sendiri bukanlah penyakit tetapi suatu gejala dari adanya kelainan sehingga pada saat anak dengan kondisi mimisan dan terjadi perdarahan di hidung mungkin reaksi pertama orang lain yang melihatnya adalah panic dikarenakan perdarahan yang keluar dari hidung baik dari satu lubang hidung maupun dari kedua lubang hidung penderita. Namun dengan penanganan yang tepat perdarahan yang terjadi dapat segera teratasi

BAB II
PEMBAHASAN
   1.     PENGERTIAN
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 >50 tahun. Epistaksis yaitu perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan posterior. Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina. Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung.Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat.
   2.     KLASIFIKASI
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.

Ø  Epistaksis Anterior (Mimisan Depan)
Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian depan, maka disebut 'mimisan depan' (=epistaksis anterior). Lebih dari 90% mimisan merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan pembuluh darah hidung belum terlalu kuat.
Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber pedarahan. Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding samping rongga hidung.
Mimisan depan akibat :
1.                  Mengorek-ngorek hidung
2.                  Terlalu lama menghirup udara kering, misalnya pada ketinggian atau ruangan berAC
3.                  Terlalu lama terpapar sinar matahari
4.                  Pilek atau sinusitis
5.                  Membuang ingus terlalu kuat
Ø  Epistaksis Posterior (Mimisan Belakang)
Mimisan belakang (=epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga mengenai anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.
Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada yang keluar melalui lubang hidung.
Beberapa penyebab mimisan belakang :
1.                  Hipertensi
2.                  Demam berdarah
3.                  Tumor ganas hidung atau nasofaring
4.                  Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia dll.
5.                  Kekurangan vitamin C dan K.
6.                  Dan lain-lain

   3.     ETIOLOGI
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.
Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-OslerWeber disease. Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer.
   4.     PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.  Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah.
Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal  atau trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu: Epistaksis anterior  Merupakan jenis  epistaksis  yang  paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan  pada  lokasi  ini  bersumber  dari  pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.
Mukosa pada  daerah ini sangat rapuh dan melekat erat  pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan  trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur  atau  kondisi  patologik  lainnya dan selanjutnya  akan menimbulkan  perdarahan . Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.  
Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
   5.     DIAGNOSI
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa factor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan  pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.

   6.     PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.2 Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.  Sumber  perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap  untuk  menyingkirkan bekuan darah. Kemudian  diberikan  tampon  kapas  yang  telah  dibasahi  dengan  adrenalin 1: 10.000 dan  lidokain atau  pantokain 2 %. Kapas ini  dimasukkan ke dalam  rongga hidung untuk menghentikan  perdarahan  dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon  ini  dibiarkan selama 3 - 5 menit.
Dengan cara  ini  dapat  ditentukan  apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau  posterior.2 Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.
Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.
A.  Epistaksis Anterior
 1.  Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan tampon  kapas  yang  telah  dibasahi dengan  kombinasi  lidokain  4%   topikal  dengan  epinefrin  1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini  dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.5  Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan  larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.
Becker (1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 – 70%.  Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi.  Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.5 Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.
2.  Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.2,10 Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas.12  Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.
B.     Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.
   1.     Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga  pita (band). Masukkan kateter karet kecil  melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini.
Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.
   2.     Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus.  Setelah  bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.
Kateter Foley no. 12 - 16 F  diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior  sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.  Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

    3.     Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.
a.       Ligasi Arteri Karotis Eksterna Ligasi
biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.12 Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus.
Setelah    flap subplatisma    dielevasi,     m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang  3/0 silk atau linen.3  
b.      Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan  operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam.
Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral  untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of  buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan.  Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan.10  Shah (2005) menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.
c.      Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira  1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus.
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma.
Angiografi dan Embolisasi Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam  melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 >50 tahun. Epistaksis yaitu perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan posterior. Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang).

DAFTAR PUSTAKA
1.      Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease AproblemOriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9. 2.
2.       Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung  dan  gangguan  penghidu,  Epistaksis. Dalam:  Buku ajar ilmu  penyakit  telinga. hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31. 
3.      Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay  IS, Bull  TR.  Scott – Brown’s  Otolaryngology. Volume 4
4.      (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19. 4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli bagian THT FK  UI.  Jilid  1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27, 112 – 6. 5.
5.      Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat  disease, a  pocket  reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80  dan 253 – 60. 6.
6.      Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90. 7.
7.      Thuesen AD, Jacobsen J, NepperRasmussen J. Juvenile angofobroma. Ugeskr Leager. 2005. Vol. 167 (34):  3163 – 6.  8.
8.      Tiwari D, Plater M, Partridge R, WestonSimons J. Primary malignan melanoma of nose: a rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol. 34 (6): 653 – 4.  9.
9.      Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-OslerWeber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd. 2005. Vol. 112 (9): 336 – 9. 10. Abelson TI. Epistaxis. Dalam:
   Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd.
1Philadelphia: WB Saunders Company, 1997: 1831 – 41.  11. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.  12.
1 Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies  buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W. Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224 – 37.  13.

1 Vaghela HM. Using a swimmer’s nose clip in the treatment of epistaksis in the A&E departement. Accing Emerg Nurs, 2005, Vol. 13 (4): 261 – 3. 
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Recent Posts